|
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perilaku keagamaan di era sekarang ini menjadi keharusan
untuk dapat ditingkatkan, karena masalah agama menjadi bagian kehidupan yang
mempengaruhi perasaan dan pemikiran, tutur kata dan perilaku. Agama Islam mengajarkan
nilai-nilai kebaikan agar setiap muslim dapat berkarya yang bermanfaat bagi
diri sendiri maupun orang lain. Semakin baik perilaku keagamaan dapat diartikan
akan semakin banyak perilaku dan tutur
kata yang bermanfaat bagi orang lain. Permasalahan bangsa yang sekarang sedang
hangat dibicarakan tidak lepas dari rendahnya pengamalan nilai-nilai agama.
|
Isu korupsi, dan berbagai pelanggaran hukum faktor
utamanya adalah rendahnya moralitas keagamaan. Semakin tinggi moral keagamaan
akan semakin jujur perilakunya dan tutur katanya sehingga dapat dikatakan
relative bersih dari perilaku korup. Ketaatan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku juga akan terwujud jika seseorang memiliki
akhlakul karimah. Disinilah dunia pendidikan perlu memberikan perhatian yang
lebih besar terhadap upaya peningkata mutu pendidikan agama Islam, sehingga
dapat membentuk perilaku keagamaan yang baik.
Pendidikan merupakan faktor utama yang berpengaruh
penting untuk perkembangan generasi muda sebagai penerus bangsa, serta
pendidikan merupakan usaha untuk menyiapkan siswa yang dapat berperan dalam
masyarakat yang akan datang, baik sebagai individu maupun sebagai warga
masyarakat, hal tersebut bisa dilakukan melalui pemberian bimbingan, pelatihan
dan pengajaran.
Pendidikan juga merupakan kebutuhan setiap warga negara
yang selalu mendambakan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai unsur
pokok dalam pembangunan negara. Pendidikan nasional suatu negara mempunyai
tujuan tertentu termasuk pendidikan yang ada di Indonesia. Tujuan pendidikan di
Indonesia menyatakan bahwa:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.”[1]
Berdasarkan ruusan tujuan pendidikan ini, maka keimanan,
ketaqwaan dan akhlakul karimah merupakan amanat undang-undang yang harus
diwujudkan oleh lembaga pendidikan sebagai tujuan yang hendak dicapai.
Peningkatan keimanan, ketaqwaan, dan akhlakul karimah hanya akan dapat
diwujudkan, jika prestasi pendidikan agama nya baik. Semakin baik prestasi
pendidikan agama, maka semakin meningkat pula keimanan, ketaqwaan dan demikian
pula akhlakul karimah. Sejalan dengan penalaran ini, maka peningkatan prestasi
pendidikan agama tidak hanya penting tetapi merupakan sebuah keharusan.
Keberhasilan pembelajaran merupakan harapan baik oleh
institusi pendidikan maupun siswa atau siswa dan lebih-lebih dunia pengguna
lulusan institusi pendidikan. Pembelajaran yang berhasil guru akan merasa puas
siswa pun merasa puas bahkan orang tua dan pengguna lulusan juga merasa puas.
Oleh karena itu, keberhasilan pembelajaran selalu diupayakan dan diperjuangkan
agar dapat menjadi kenyataan. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan
pembelajaran, namun dari semua faktor dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu
faktor internal dan faktor eksternal.
Keberhasilan pembelajaran Pendidikan Agama Islam sangat
penting sekali lebih-lebih di era globalisasi seperti sekarang ini. Hal ini
dimaksudkan dengan keberhasilan Pendidikan Agama Islam dapat berguna sekali
untuk menanggulangi berbagai informasi yang menawarkan nilai-nilai kehidupan
yang nampak indah mempesona sehingga menggiurkan setiap orang yang menerima
informasi tersebut tanpa memperhitungkan akibat-akibatnya. Nilai-nilai
kehidupan yang demikian bisa jadi bermuatan unsur-unsur negatif seperti
tayangan-tayangan gambar porno, nilai-nilai kehidupan yang konsumtif, penyajian
informasi yang menyesatkan, dan sebagainya. Padahal manusia diciptakan Allah
SWT dengan tujuan agar menjadikan seluruh hidupnya untuk beribadah. Firman
Allah dalam QS Adh Dzariyat: 56:
Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Surat Adz dzariyat
ayat 56 mengandung makna bahwa semua makhluk Allah, termasuk jin dan manusia
diciptakan oleh Allah SWT agar mereka mau mengabdikan
diri, taat, tunduk, serta menyembah hanya kepada Allah SWT. Jadi, selain fungsi
manusia sebagai khalifah di muka bumi (fungsi horizontal), manusia juga
mempunya fungsi sebagai hamba yaitu menyembah penciptanya (fungsi vertikal),
dalam hal ini adalah menyembah Allah karena sesungguhnya Allah lah yang
menciptakan semua alam semesta ini.
Manusia diciptakan
oleh Allah SWT agar menyembah kepadanya. Kata menyembah sebagai terjemahan dari
lafal ‘abida-ya’budu-‘ibadatun (taat, tunduk, patuh). Beribadah berarti
menyadari dan mengaku bahwa manusia merupakan hamba Allah yang harus tunduk
mengikuti kehendaknya, baik secara sukarela maupun terpaksa.
Ibadah muhdah
(murni), yaitu ibadah yang
telah ditentukan waktunya, tata caranya, dan syarat-syarat pelaksanaannya oleh
nas, baik Al Qur’an maupun hadits yang tidak boleh diubah, ditambah atau
dikurangi. Misalnya shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya.
Ibadah ‘ammah
(umum), yaitu pengabdian
yang dilakuakn oleh manusia yang diwujudkan dalam bentuk aktivitas dan kegiatan
hidup yang dilaksanakan dalam konteks mencari keridhaan Allah SWT.
Keimanan Bagaimana keadaan orang-orang yang beriman di dalam
syurga sebagai balasan ketaatan bagi orang yang bertakwa,Manusia
dan jin dijadikan
Allah untuk
beribadah kepada-Nya, Allah
sebagai pemberi rezki, Neraka sebagai balasan bagi orang- orang kafir. Larangan mempersekutukan Allah
dengan selain-Nya, Perintah
berpaling dari orang-orang musyrik yang berkepala batu dan memberikan
peringatan dan pengajaran kepada orang-orang mukmin, Pada harta
kekayaan seseorang terdapat hak orang miskin
Jadi, setiap insan
tujuan hidupnya adalah untuk mencari keridhaan Allah SWT, karena jiwa yang
memperoleh keridhaan Allah adalah jiwa yang berbahagia, mendapat ketenangan,
terjauhkan dari kegelisahan dan kesengsaraan bathin. Sedangkan diakhirat kelak,
kita akan memperoleh imbalan surga dan dimasukkan dalam kelompok hamba-hamba
Allah SWT yang istimewa. Selama hidup di dunia manusia wajib beribadah,
menghambakan diri kepada Allah. Seluruh aktivitas hidupnya harus diarahkan
untuk beribadah kepadanya. Islam telah memberi petunjuk kepada manusia tentang
tata cara beribadah kepada Allah. Apa-apa yang dilakukan manusia sejak bangun
tidur sampai akan tidur harus disesuaikan dengan ajaran Islam.
Dalam kehidupan ini berdasarkan firman Allah SWT bahwa manusia diciptakan hanyalah untuk
beribadah yang berarti setiap manusia harus menjadikan semua bidang
kehidupannya sebagai lahan ibadah. Karena bidang apapun adalah lahan untuk
ibadah, maka harapannya adalah memperoleh ridlo Allah SWT. Kehidupan manusia
baik dari dimensi ruang maupun waktu seharusnya tidak pernah kering dari
ibadah. Kondisi ini tidak lepas dari kontribusi dunia pendidikan Islam.
Pendidikan Agama Islam yang bermutu akan dapat menjadi
benteng yang kuat dalam menanggulangi masuknya budaya asing dan nilai-nilai
negatif yang tidak selaras dengan kebenaran Islam. Pengembangan intelektual
yang bersifat akademisi dan ketrampilan justru akan sangat membahayakan bagi
keselamatan umat manusia apabila tidak dibalut dengan nilai-nilai moral agama
yang tercermin dalam tutur kata dan perilaku sebagai keberhasilan Pendidikan
Agama Islam untuk membentuk siswa yang berakhlak mulia. Guna mewujudkan keberhasilan
pembelajaran Pendidikan Agama Islam faktor-faktor yang memengaruhi seperti
tersebut di atas perlu dipahami dan diperhatikan dalam proses pembelajaran.
Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dapat bersifat
internal maupun eksternal. Faktor internal dapat berupa minat untuk belajar,
kemauan, perhatian, kebiasaan, motivasi, rasa sedih, gembira dan sebagainya.
Faktor yang berada di luar diri seorang yang belajar yang disebut faktor
eksternal dapat berupa keluarga, masyarakat, guru, sarana prasarana, kurikulum,
teman sekolah dan lain-lain.[2] Lingkungan
sosial kemasyarakatan merupakan faktor eksternal yang dapat mempengaruhim
prestasi belajar siswa baik berpengaruh positif maupun negative. Dalam rangka
upaya peningkatan prestasi pendidikan agama islam di SMP N 2 Gabus perlu
memperhatikan faktor faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan pembelajaran
siswa khususnya dalam konteks ini pembelajaran pendidikan agama Islam, agar
siswa dapat mewujutkan perilaku keagamaan yang baik.
Sehubungan dengan apa yang diuraikan dalam latar belakang
di atas, cukup menarik kiranya untuk ditelaah dan diteliti lebih lanjut sejauh
mana dampak social kemasyarakatan terhadap perilaku keagamaan siswa SMP N 2
Gabus. Oleh karena itu penelitian yang hendak dilakukan ini mengambil judul: “Dampak Lingkungan Sosial Kemasyarakatan terhadap Perilaku
Keagamaan Siswa di SMP N 2 Gabus Kabupaten Pati”.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas,
maka permasalahan yang hendak diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.
Bagaimana
lingkungan sosial masyarakat di sekitar SMP Negeri 2 Gabus?
2.
Bagaimana
perilaku keagamaan siswa SMP Negeri 2 Gabus?
3.
Faktor
apa saja yang mempengaruhi perilaku keagamaan siswa di SMP Negeri 2 Gabus?
4.
Bagaimana
dampak lingkungan sosial masyarakat terhadap perilaku keagamaan siswa di SMP Negeri
2 Gabus?
C.
Tujuan
Penelitian
1.
Untuk
mendeskripsikan dan menganalisis lingkungan sosial masyarakat di sekitar SMP
Negeri 2 Gabus.
2.
Untuk
mendeskripsikan dan menganalisis perilaku
keagamaan siswa SMP Negeri 2 Gabus.
3.
Untuk
mengetahui dan menganalisis faktor – faktor yang mempengaruhi perilaku
keagamaan siswa di SMP Negeri 2 Gabus.
4.
Untuk
mendeskripsikan dan menganalisis dampak
lingkungan sosial masyarakat terhadap perilaku keagamaan siswa di SMP Negeri 2
Gabus.
D.
Manfaat
Penelitian
1.
Teoritis
Dari segi teoritis hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu
pendidikan agama Islam. Pengembangan ilmu melalui penelitian, kegiatan-kegiatan
ilmiah lainnya diharapkan dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai
tinjauan pustakan atau rujukan.
2.
Praktis
Hasil penelitian
ini diharapkan dapat memberi manfaat antara lain sebagai berikut :
a.
Untuk
Sekolah
1)
Memperoleh gambaran sebagai masukan tentang perilaku keagamaan siswa SMP Negeri 2 Gabus.
2)
Memperoleh
gambaran sebagai masukan tentang kondisi lingkungan sosial kemasyarakatan siswa
SMP Negeri 2 Gabus.
3)
Memperoleh
gambaran sebagai masukan tentang dampak lingkungan social kemasyarakatan
terhadap perilaku keagamaan siswa SMP
Negeri 2 Gabus.
b.
Untuk
Guru
1)
Hasil
penelitian dapat menjadi masukan bagi guru untuk mengarahkan siswa agar dalam
pergaulan memilih teman dan kelompok masyarakat yang patuh dan taat pada ajaran
islam.
2)
Bagi
guru yang beragama islam segala perilaku dan tutur kata guru harus senantiasa
diupayakan mencerminkan nilai-nilai ajaran islam
E.
Sistematika
Tesis
Dalam pembahasan tesis ini disajikan dalam sistematika
sebagai berikut:
Bab 1 berisi latar belakang, rumusan
masalah, tujuan, kegunaan penelitian, metode penelitian dan sistematika
penelitian.
Bab 2 berisi landasan teori, tinjauan
pustaka, dan kerangka berpikir. Dibahas tentang lingkungan sosial, pengertian,
macam-macam peran dan dampak dari lingkungan sosial. Dibahas pula perilaku
keagamaan yang meliputi pengertian, macam-macam, faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku keagamaan. Disajikan pula tinjauan pustaka yang berisi
penelitian terdahulu yang relevan dan kerangka berpikir.
Bab 3 berisi tentang metode penelitian
yang menyajikan lokasi penelitian, jenis data, sumber data, tehnik pengumpulan
data, pengecekan keabsahan data dan tehnik analisis data.
Bab 4 menyajikan hasil penelitian, pembahasan
dan temuan. Hasil penelitian mencakup kondisi obyektif SMP Negeri 2 Gabus,
lingkungan sosial kemasyarakatan, perilaku keagamaan, dampak lingkungan sosial
kemasyarakatan terhadap perilaku keagamaan sosial dan faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku keagamaan siswa. Bab ini menyajikan pula pembahasan
dalam bentuk narasi dan matrik dampak
lingkungan sosial kemasyarakatan terhadap perilaku keagamaan siswa dan temuan.
Bab 5 penutup berisi kesimpulan dan
saran.
BAB II
|
DAN KERANGKA BERFIKIR
A. Landasan Teori
1. Lingkungan
Sosial
a.
Pengertian
lingkungan
Lingkungan
sosial adalah hubungan interaksi antara masyarakat dengan lingkungan. Sikap
masyarakat terhadap lingkungan sosial dipengaruhi oleh nilai sosial, itulah
hubungannya. Jika nilai sosial tentang lingkungan lantas berubah/terjadi
pergeseran, maka sikap masyarakat terhadap lingkungan juga berubah/bergeser.
Itulah sebabnya masyarakat dan nilai sosial selalu terlihat dinamis, terlepas
dari baik dan buruknya lingkungan sosial.[3]
Lingkungan dapat diartikan segala sesuatu yang berada
disekitar atau disekeliling siswa dan mempengaruhi pola pikir serta perilaku
siswa. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan prestasi belajar siswa
diperlukan lingkungan social yang baik. Dalam konteks pembelajaran pendidikan
agama siswa perlu lebih sering berada di lingkungan bernuansa keagamaan.
|
Lingkungan
dalam pembahasan ini adalah lingkungan social. Menurut Bimo Walgito, lingkungan social adalah lingkungan masyarakat yang didalamnya terdapat
interaksi antara orang perorang, perorangan dengan kelompok, maupun kelompok
dengan kelompok.[4]
Pengertian
lingkungan social jug dikemukakan oleh Ngalim Purwanto yaitu semua orang atau
manusia di masyarakat luas yang melakukan hubungan baik secara langsung maupun
tidak langsung. Secara langsung berarti melakukan pergaulan sehari-hari
sedangkan tidak langsung melalui media elektronik maupun media cetak.
Kesemuanya ini berinteraksi dengan sifat-sifat bawaan individu yang kemusian
membentuk perkembangan individu dalam kehidupannya.[5]
Sejalan dengan
pengertian lingkungan yang telah dipaparkan di atas, maka dapt dinyatakan bahwa
lingkungan social kemasyarakatan adalah kondisi hubungan timbal balik individu
dengan individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok yang
bersifat dinamis sehingga membentuk perkembangan individu-indivudu di dalamnya.
Dalam konteks pendidikan agama islam kondisi
lingkungan social kemasyarakatan ada yang kental dengan nuansa keagamaan dan
ada yang kurang mencerminkan nuansa keagamaan dan bahkan ada pula yang
bernuansa bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan. Hal ini tentu berdampak
pada perkembangan keagamaan siswa.
b.
Macam-macam
lingkungan sosial
Lingkungan
sosial ini biasanya dibedakan:
1) Lingkungan
Sosial Primer:
Yaitu lingkungan sosial di mana terdapat hubungan yang
erat antara anggota satu dengan anggota lain, anggota satu saling kenal
mengenal dengan baik dengan anggota lain.
2) Lingkungan
Sosial Sekunder:
Yaitu lingkungan sosial yang berhubungan anggota satu
dengan anggota lain agak longgar.
Adapun tujuan membangun lingkungan sosial masyarakat
adalah sebagai berikut:
a)
Untuk membangun rasa senasib dan sepenanggungan
di antara mereka, khususnya manusia Indonesia yang mewujudkan rasa persatuan.
b)
Agar tertanam rasa toleransi di antara
mereka, seorang hanya mempunyai arti bagaimana ia menjadi bagian dalam
kelompok.
c)
Agar timbul kesadaran bahwa di antara
mereka terdapat saling ketergantungan yang berkaitan dengan kepedulian sosial.
d)
Salah satu keberartian seseorang adanya
nilai-nilai demokrasi yang tumbuh dan dimiliki sebagai sikap menghargai perasan
dan pendapat sesama yang pada gilirannya menciptakan suatu kesatuan sosial.
c.
Peran
lingkungan sosial
Sikap manusia
terhadap lingkungannya berbeda-beda, hal ini tergantung pada masing-masing
pandangan manusia yang bersangkutan. Secara teori hubungan manusia dengan
lingkungan dapat dibedakan sebagai berikut:
1) Manusia menolak
lingkungan,
Dalam keadaan
ini manusia berpandangan bahwa lingkungan dipandang tidak sesuai dengan
dirinya. Misalnya seorang muslim yang melihat lingkungannya bernuansa
kemaksiatan, maka ia berupaya merubah lingkungan. Banyak contoh seseorang yang hidup
disuatu lingkungan tetapi tidak cocok dengan norma-norma yang berlaku dalam
lingkungan tersebut.
2) Manusia
menerima lingkungan,
Manusia
menerima lingkungan bila keadaan lingkungan sesuai atau cocok dengan pandangan
dirinya. Dengan demikian manusia akan menerima keaadaan lingkungan tersebut.
Misalnya keadaan norma-norma dalam lingkungan seseorang cocok dan sesuai dengan
apa yang diinginkan.
3) Manusia netral.
Manusia
bersikap netral bila manusia berada dalam lingkungan social yang tidak cocok
dengan dirinya, tetapi manusia tersebut tidak mengambil langkah apa-apa.
Manusia bersikap diam saja dengan suatu pendapat biarlah lingkungan social
dalam keadaan demikian, asal dia tidak berbuat demikian.[6]
Dalam pandangan
Islam sikap seorang muslim terhadap lingkungannya sangat jelas, yaitu menolak
tegas terhadap lingkungan social yang bernuansa kedzoliman. Seorang muslim
tidak boleh condong atau tertarik pola
kehidupan social yang kental dengan perilaku kedzoliman sesuai dengan firman
Allah SWT QS Hud: 113 sebagai berikut:
Dan
janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada
mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan
diberi pertolongan.
Berdasarkan
pembahasan teori diatas lingkungan bagaimanapun juga berpengaruh terhadap
perilaku manusia. Meskipun ada manusia yang bersikap netral tetapi tidak
seluruhnya bersikap netral terhadap apa saja yang ada dalam lingkungan social,
sebab manusia selalu melakukan interaksi social dalam lingkungannya.
d.
Dampak dari
lingkungan sosial
Salah satu
faktor yang berpengaruh terhadap perilaku keagamaan siswa adalah faktor
lingkungan sosial. Faktor lingkungan termasuk faktor eksternal yang perlu
diperhatikan karena dapat berpengaruh negatif terhadap prestasi belajar siswa. Kehidupan
manusia tidak bisa lepas dari lingkungan sosial. Manusia sehari-hari
membutuhkan interaksi dengan orang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya. Manusia bukanlah makhluk diruang hampa melainkan sebagai makhluk
sosial sehingga hidup dan kehidupannya tidak lepas dari interksi dengan orang
lain.
Nilai-nilai
yang ada dalam masyarakat akan menjadi pedoman dalam berperilaku termasuk
perilaku keagamaan. Perubahan nilai-nilai dalam masyarakat akan berdampak pada
perubahan perilaku manusia yang ada didalamnya. Namun seperti dikemukakan
diatas ada manusia yang bersikap agresif untuk merubah lingkungan sosialnya,
adapula yang mengikuti perubahan nilai-nilai dalam lingkungan masyarakatnya dan
ada yang bersikap netral. Jadi lingkungan sosial kemasyarakatan berdampak
terhadap perilaku manusia termasuk perilaku keagamaan yang dibedakan dalam tiga
katagori, yaitu : merubah lingkungan,
mengikuti lingkungan dan bersikap netral.
2.
Perilaku Keagamaan
a.
Pengertian Perilaku Keagamaan
Pengertian perilaku keagamaan dapat dijabarkan dengan
cara mengartikan perkata. Kata perilaku berarti tanggapan atau reaksi individu
terhadap rangsangan atau lingkungan.[7] Sedangkan kata keagamaan berasal dari kata dasar agama
yang berarti sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran kebaktian
dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Kata keagamaan itu sudah
mendapat awalan “ke” dan akhiran “an” yang mempunyai arti sesuatu (segala
tindakan) yang berhubungan dengan agama.[8]
Dengan demikian perilaku keagamaan berarti segala
tindakan itu perbuatan atau ucapan yang dialkukan seseorang sedangkan perbuatan
atau tindakan serta ucapan tadi akan terkaitannya dengan agama, semuanya
dilakukan karena adanya kepercayaan kepada Tuhan denagn ajaran, kebaktian dan
kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan.
Di dalam agama ada ajaran-ajaran yang dilakukan bagi
pemeluknya-pemeluknya, bagi agama Islam, ada ajaran yang harus dilakukan dan
adapula yang berupa larangan. Ajaran-ajaran yang berupa perintah yang harus
dilakukan diantaranya adalah sholat, zakat, puasa, haji, menolong orang lain
yang sedang kesusahan dan masing banyak lagi yang bila disebutkan disini tidak
akan tersebutkan semua. Sedangkan yang ada kaitannya dengan larangan itu lagi
banyak seperti, minum-minuman keras, judi, korupsi, main perempuan dan
lain-lain.
Di dalam
kehidupan sehari-hari secara tidak langsung banyak aktivitas yang telah kita
lakukan baik itu yang ada
hubungannya antara makhluk dengan pencipta, maupun hubungan antara makhluk
dengan sesama makhluk, itu pada dasarnya sudah diatur oleh agama.
Perilaku
beragama umat Islam didasarkan atas keyakinan adanya rukun iman dan rukun
Islam. Rukun iman terdiri atas percaya pada Allah swt., percaya pada malaikat,
percaya pada nabi, percaya pada hari kiamat, percaya pada kitab suci (Taurat,
Mazmur, Injil, Quran) dan percaya pada takdir. Rukun Islam meliputi pengakuan
tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah syahadat, sembahyang
lima waktu (shalat), puasa di bulan Ramadan, zakat, dan naik haji. Pada masa
kontemporer, perilaku keagamaan di Indonesia semakin beragam. Baik dari tradisi
Muhammadiyah, NU, maupun penganut Islam inklusif. Masing-masing organisasi
massa dan kelompok-kelompok penganut agama itu kemudian berkembang dengan ciri
khas masing-masing.
Keinginan
kepada hidup beragama adalah salah satu sifat yang asli pada manusia. Itu
adalah nalirah, gazilah, fitrah, kecendeungan yang telah menjadi pembawaan dan
bukan sesuatu yang dibuat-buat atau sesuatu keinginan yang datang kemudian,
lantaran pengaruhnya dari luar. Sama halnya dengan keinginan makan, minum,
memiliki harta benda, berkuasa dan bergaul dengan sesama manusia.
Dengan
demikian, maka manusia itu pada dasarnya memanglah makhluk yang religius yang
sangat cenderung kepada hidup beragama, itu adalah panggilan hati nuraninya.
Sebab itu andai kata Tuhan tidak mengutus Rosul-rosul-Nya untuk menyampaikan
agama-Nya kepada manusia ini, namun mereka akan berusaha dengan berikhtiar
sendiri mencari agama itu. Sebagaimana ia berikhtiar untuk mencari makanan di
waktu ia lapar, dan memang sejarah kehidupan manusia telah membuktikan bahwa
mereka telah berikhtiar sendiri telah dapat menciptakan agamanya yaitu yang
disebut dengan agama-agama ardhiyyah.[9]
Manusia dalam mencari
Tuhan sebelum datangnya utusan-utusan Allah menemukan berbagai jalan yang dapat
digunakan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Banyak juga simbol-simbol yang
digunakan sebagai sarana untuk berhubungan dengan Tuhan, ada yang memakai
patung, pohon-pohon besar, batu-batu dll.
Dalam usahanya
mencari Tuhan manusia memikirkan apa yang ada di lingkungan sekitarnya seperti
Tuhan, matahari dan bumi yang mereka tempati ini. Berfikir bahwa adanya sesuatu
pasti ada yang membuat setelah diurut-urutkan, manusia kehilangan akal untuk
menunjukkan siapa sebenarnya yang menciptakan ini semua.
Dengan ini
sampailah manusia itu kepada keyakinan tentang adanya Tuhan, pencipta alam
semesta. Dia telah menemukan Tuhan dan keyakinannya ini bertambah kuat lagi
setelah ia menyelidiki dirinya sendiri. Dikatannya bahwa ia sebelum lahir ke
dunia ini ia telah tumbuh dan berkembang di kandungan ibunya selama beberapa
bulan, kemudian lahir ke dunia dan menjadi besar. Dirinya terdiri dari dua
unsur yaitu tumbuh, besar jasmani yang terdiri dari tulang-tulang, daging,
darah, dan perlengkapan lainnya yang sangat menakjubkan dan unsur yang kedua
adalah roh atau jiwa yang hakekatnya tidak dapat diketahui oleh manusia.[10]
Perkembangan
perilaku keagamaan pada anak, terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil,
dalam keluarga, di sekolah dan dalam masyarakat. Semakin banyak pengalaman yang
bersifat agama (sesuai ajaran agama) akan semakin banyak unsur agama, maka
sikap, tindakan, kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan
ajaran agama.
Kepribadian
orang tua, sikap dan cara hidup mereka merupakan unsur-unsur pendidikan yang
tidak langsung yang dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi anak yang
sedang bertambah itu. Sikap anak terhadap teman-teman dan orang yang ada di
sekelilingnya sangat dipengaruhi sikap orang tuanya terhadap agama.
Perlakuan orang
tua terhadap anak tertentu dan terhadap semua anaknya sangat berpengaruh pada
anak-anak sendiri, perlakuan keras akan berakibat lain daripada perlakuan yang
lemah lembut dalam pribadi anak. Hubungan yang serasi penuh pengertian dan
kasih sayang akan membawa pada pribadi yang tenang, terbuka dan mudah dididik
atau diarahkan karena ia mendapat kesempatan yang cukup dan baik untuk tumbuh
dan berkembang dalam berfikirnya, tapi sebaliknya hubungan orang tua yang tidak
serasi akan membawa anak pada pertumbuhan pribadi yang sukar dan tidak mudah
dibentuk atau diarahkan, karena ia tidak mendapat suasana yang baik untuk
berkembang dalam berfikir, serba selalu terganggu oleh suasana orang tuanya.
Selain di atas,
banyak sekali faktor-faktor tidak langsung dalam keluarga yang mempengaruhi
terbentuknya perilaku keagamaan anak. Di samping itu tentunya nilai pendidikan
yang mengarah kepada perilaku keagamaan baginya, yaitu pembinaan-pembinaan
tertentu yang dilakukan orang tua terhadap anak, baik melalui latihan-latihan,
perbuatan misalnya dalam makan minum, buang air, mandi tidur, berpakaian dan
sebagainya, semua itu termasuk perilaku keagamaan.
Berapa banyak
macam pendidikan dan pembinaan tidak langsung yang telah terjadi pada anak
sebelum ia masuk sekolah. Tentu saja setiap anak mempunyai pengalaman sendiri,
yang tidak sama dengan pengalaman anak yang lain. Pengalaman yang dibawa oleh
anak-anak dari rumah tersebut akan menentukan sikapnya terhadap teman-teman,
orang-orang di sekitarnya terutama terhadap orang tua dan gurunya.[11]
b.
Macam-macam Perilaku Keagamaan
Dalam kehidupan
sehari-hari manusia senantiasa melakukan aktivitas-aktivitas kehidupannya atau
dalam arti melakukan tindakan baik itu erat hubungannya dengan dirinya sendiri
ataupun berkaitan dengan orang lain yang biasa dikenal dengan proses komunikasi
baik itu berupa komunikasi verbal atau perilaku nyata, akan tetapi di dalam
melakukan perilakunya mereka senantiasa berbeda-beda antara satu dengan lainnya,
hal ini disebabkan karena motivasi yang melatarbelakangi berbeda-beda.
Kemudian dari
sistem ini muncullah pembahsan mengenai macam-macam perilaku seperti pendapat
yang dikemukakan oleh Said Howa, perilaku menurutnya dikelompokkan dalam du
abentuk atau macam yakni :
1) Perilaku islami ialah perilaku yang
mendatangkan kemaslahatan kebaikan, ketentraman bagi lingkungan.
2) Perilaku non islami ialah perbuatan yang
mendatangkan gelombang kerusakan, kemunafikan, perilaku non islami ini tidak
mencerminkan perilaku yang dinafasi dengan iman, tetapi dinafasi selalu dengan
nafsu.[12]
Menurut Hendro Puspito, dalm bukunya
“Sosiologi Agama” beliau menjelaskan tentang perilaku atau pola kelakuan yang
dibagi dalam 2 macam yakni :
1) Pola kelakuan
lahir adalah cara bertindak yang ditiru oleh orang banyak secara
berulang-ulang.
2) Pola kelakuan
batin yaitu cara berfikir, berkemauan dan merasa yang diikuti oleh banyak orang
berulang kali.[13]
Pendapat ini
senada dengan pendapat Jamaluddin Kafi yang mana beliau juga mengelompokkan
perilaku menjadi dua macam yaitu perilaku jasmaniyah dan perilaku rohaniyah,
perilaku jasmaniyah yaitu perilaku terbuka (obyektif) kemudian perilaku
rohaniyah yaitu perilaku tertutup (subyektif).[14] Pembagian ini
bisa terjadi karena manusia adalah makhluk Allah yang mulia yang terdiri dari
dua jauham yaitu jasmaniyah dan jiwa atau rohani.
Sedangkan H.
Abdul Aziz mengelompokkan perilaku menjadi dua macam yaitu :
1) Perilaku oreal (perilaku yang
dapat diamati langsung).
2) Perilaku
covert (perilaku yang tidak dapat diamati secara langsung).[15]
Demikianlah
macam-macam perilaku yang dikemukakan oleh beberapa ahli pendidikan, dimana
dapat disimpulkan bahwasannya perilaku seseorang itu muncul dari dalam diri
seorang itu (rohaniahnya), kemudian akan direalisasikan dalam bentuk tindakan
(jasmaniahnya).
c.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Perilaku Keagamaan
1) Faktor Intern
Faktor intern yaitu pengaruh emosi
(perasaan) yang mana dari pengaruh emosi tersebut memunculkan selektifitas.
Selektifitas di sini merupakan daya pilih atau minat perhatian untuk menerima,
mengolah pengaruh-pengaruh yang datang dari luar diri manusia.[16]
Emosi mempunyai pengaruh yang cukup
besar dalam pembentukan perilaku keagamaan. Hal ini didukung oleh Dr. Zakiah
Daradjat yang menyatakan “Sesungguhnya emosi memegang peranan penting dalam
sikap dan tindak agama seseorang yang dapat dipahami, tanpa menghindari
emosinya.[17]
Beberapa teori belajar dari psikologi
behavioristik dikemukakan oleh para psikolog behavioristik. Mereka ini sering
disebut “contemporary behavioristis” atau juga disebut “S-R
Psychologists”. Mereka berpendapat bahwa tingkah
laku manusia itu dikendalikan oleh ganjaran (reword) atau penguat (reinforcement)
dari lingkungan.[18]
Skinner berpendapat bahwa
manusia berbuat sesuatu dalam lingkungannya untuk mendatangkan akibat-akibat,
entah untuk mendatangkan pemenuhan kebutuhan atau menghindari datangnya hukuman
atau pengalaman yang tidak enak.[19]
Termasuk dalam faktor internal yaitu kognisi.
Para ahli aliran
Kognitifis berpendapat bahwa tingkah laku seseorang senantiasa didasarkan pada
kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku
itu terjadi. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi
itu dan memperoleh insight untuk memecahkan masalah. Jadi tingkah laku
seseorang lebih bergantung kepada insight terhadap hubungan-hubungan yang ada
di dalam suatu situasi.[20]
Pendekatan perkembangan
kognitif, yang mempunyai asumsi bahwa kemampuan kognitif merupakan suatu yang
sangat fundamental yang membimbing tingkah laku individu. Dalam pendekatan ini
ada 3 buah model, yaitu:
a) Model Kognitif Piaget, dengan asumsi bahwa perkembangan manusia
dapat digambarkan dalam konsep fungsi dan struktur. Konsep fungsi merupakan
mekanisme biologis bawaan yang sama bagi setiap orang untuk mengorganisasikan
pengetahuan ke dalam struktur kognisi, supaya dapat beradaptasi dengan
lingkungannya. Sedangkan konsep struktur adalah interelasi sistem pengetahuan
yang mendasari dan membimbing tingkah laku inteligen, yang diistilahkan dengan konsep
skema (refleks).[21]
b) Model pemrosesan informasi, yaitu merumuskan
bahwa kognitif manusia sebagai suatu sistem, terdiri dari input berupa
rangsangan yang masuk ke dalam reseptor. Proses adalah pekerjaan otak yang
mentransformasikan informasi dalam berbagai cara, dan out put berbentuk tingkah
laku.
c) Model kognisi sosial, yang menekankan pengaruh
pengalaman sosial terhadap perkembangan
2) Faktor Ekstern
Faktor fitrah beragama
merupakan potensi yang mempunyai kecenderungan untuk berkembang. Namun, perkembangan
itu tidak akan terjadi manakala tidak ada faktor luar (eksternal) yang
memberikan pendidikan (bimbingan, pengajaran, dan latihan) yang memungkinkan
fitrah itu berkembang dengan sebaik-baiknya. Termasuk dalam faktor eksternal
yaitu:
a) Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan
lingkungan pertama dan utama bagi anak, oleh karena itu peranan keluarga (orang
tua) dalam pengembangan kesadaran beragama anak sangatlah dominan.
Al-Qur’an Surat
At-Tahrim: 6
... (التحريم: 6)
“Hai
orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”. (QS.
At-Tahrim: 6)
Menunjukkan bahwa orang
tua mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan agama kepada anak dalam
upaya menyelamatkan mereka dari siksa api neraka.
Mengenai pentingnya
peranan orang tua dalam pendidikan agama bagi anak, Nabi Muhammad Saw bersabda:
ما من مولد الا يولد على الفطرة فأبواه
يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه (وراه البيهاقى)
“Setiap
anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orang tuanyalah
anak itu menjadi yahudi, nasrani atau majusi”. (H. R. Baihaqi).
Sesuai pendidikan dalam
keluarga dalam akan terwujud dengan baik berkat adanya pergaulan dan hubungan
saling mempengaruhi cara timbal balik antara orang tua dan anak, suasana
keluarga yang telah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan terpuji dan
meninggalkan yang tercela, akan menyebabkan anggotanya tumbuh dengan wajar dan
akan tercipta keserasian dalam keluarga. Sehingga pengaruh keluarga akan
membekas sekali, bukan hanya dalam keluarganya tetapi juga dalam sikap perilaku
keagamaan anggotanya.
Seorang
ahli psikologi, yaitu Hurlock berpendapat bahwa keluarga merupakan “Training
Centre” bagi penanaman nilai-nilai (termasuk juga nilai-nilai agama). Pendapat
ini menunjukkan bahwa keluarga mempunyai peran sebagai pusat pendidikan bagi
anak untuk memperoleh pemahaman tentang nilai-nilai (tata krama,
sopan santun, atau ajaran agama) dan kemampuan untuk mengamalkan atau
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara personal maupun sosial
kemasyarakatan.[22]
Peranan keluarga terkait
dengan upaya-upaya orang tua dalam menanam nilai-nilai agama kepada anak, yang
prosesnya berlangsung pada masa pralahir atau dalam kandungan dan pasca lahir.
Pentingnya penanaman nilai-nilai agama pada masa pralahir didasarkan kepada
pengamatan para ahli psikologi terhadap orang-orang yang mengalami gangguan
jiwa. Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa gangguan jiwa mereka
dipengaruhi oleh keadaan emosi atau sikap orang tua (ibu) pada masa mereka
berada dalam kandungan.
Upaya orang tua dalam
mengembangkan jiwa beragama anak pada masa kandungan dilakukan secara tidak
langsung, karena kegiatannya bersifat pengembangan sikap, kebiasaan dan
perilaku-perilaku keagamaan pada diri orang tua itu sendiri. Upaya yang
dilakukan orang tua (ibu) pada masa anak dalam kandungan diantaranya sebagai
berikut :
1) Membaca do’a pada saat berhubungan badan dengan suami istri.
2) Meningkatkan kualitas ibadah sholat wajib dan sunnah
3) Tadarus Al-Qur’an dan mempelajari tafsirnya
4) Memperbanyak dzikir kepada Allah
5) Memanjatkan do’a kepada Allah yang terkait
dengan permohonan untuk memperoleh keturunan yang sholih
Adapun upaya yang
dilakukan orang tua setelah anak lahir yaitu :
1) Pada saat anak berusia 7 (tujuh) hari,
lakukanlah aqiqah sebagai sunnah Rasul.
2) Orang tua hendaknya mendidik anak tentang ajaran agama, seperti
rukun iman, rukun Islam, cara-cara berwudlu, bacaan dan gerakan sholat,
do’a-do’a, baca tulis Al-Qur’an, berdzikir, hukum-hukum (wajib, sunnah, halal
dan haram) dan akhlak terpuji.
3) Orang tua hendaknya memelihara hubungan yang harmonis antar
anggota keluarga
4) Orang tua merupakan pembina pribadi dan akhlak anak yang pertama,
dan sebagai tokoh yang diidentifikasi, diimitasi atau ditiru oleh anak, maka
mereka memiliki kepribadian yang baik atau berakhlakul karimah.
5) Orang tua hendaknya memperlakukan anak dengan cara yang baik
6) Orang tua hendaknya tidak memperlakukan anak secara otoriter atau
perlakuan yang keras karena akan mengakibatkan perkembangan pribadi atau akhlak
anak yang tidak baik.
b) Lingkungan Masyarakat
Yang dimaksud lingkungan
masyarakat adalah situasi atau kondisi interaksi sosial dan sosio-kultural yang
secara potensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah keagamaan anak.
Dalam masyarakat anak
melakukan interaksi sosial dengan teman sebayanya (peer group) atau anggota
masyarakat lainnya. Apabila teman sepergaulan itu menampilkan perilaku yang
sesuai dengan nilai-nilai agama atau berakhlak mulia, maka anak cenderung berakhlak
mulia. Namun apabila sebaliknya, yaitu teman sepergaulannya menunjukkan
kebobrokan moral maka anak akan cenderung terpengaruh untuk berperilaku seperti
temannya tersebut. Hal ini terjadi apabila anak kurang mendapat bimbingan agama
dari orang tuanya.
Mengenai dominannya
pengaruh kelompok teman sebaya, Hurlock mengemukakan bahwa “Standar atau
aturan-aturan ‘gang’ (kelompok bermain) memberikan pengaruh kepada pendangan
moral dan tingkah laku para anggotanya:” Corak perilaku anak merupakan cermin
dari perilaku warga masyrakat (orang dewasa) pada umumnya. Oleh karena itu
kualitas perkembangan kesadaran beragama anak sangat tergantung kepada kualitas
perilaku atau akhlak warga masyarakat (orang dewasa)itu sendiri.[23]
Kualitas pribadi,
perilaku atau akhlak orang dewasa yang menunjang bagi perkembangan kesadaran
beragama anak adalah mereka yang (a) taat melaksanakan ajaran agama seperti
ibadah ritual, menjalin persaudaraan, saling menolong dan bersikap jujur. (b)
menghindari sikap dan perilaku yang dilarang agama seperti sikap permusuhan,
saling mencurigai, bersikap munafik, mengambil hak orang lain (mencuri,
korupsi) dan perilaku maksiat lainnya (judi, berzina, minum minuman keras).
c) Lingkungan
sekolah
Sekolah merupakan lembaga
pendidikan formal yang mempunyai program sistemik dalam melaksanakan bimbingan
pengajaran dan latihan kepada anak, agar mereka berkembang sesuai dengan
potensinya secara optimal, baik menyangkut aspek fisik, psikis (intelektual dan
emosional), social maupun moral spiritual.
Menurut Hurlock, sekolah
mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kepribadian anak karena sekolah
merupakan substitusi dari keluarga dan guru substitusi dari orang tua.[24]
Imam Ghozali mengemukakan
tentang peranan guru dalam pendidikan akhlak anak bahwa penyembuhan badan
memerlukan seorang dokter yang tahu tentang tabiat badan serta macam-macam
penyakitnya dan cara-cara penyembuhannya. Demikian pula halnya dengan
penyembuhan jiwa dan akhlak. Keduanya membutuhkan guru yang tahu tentang tabiat
dan kekurangan jiwa manusia serta tentang cara memperbaiki dan mendidiknya.[25]
d) Kewibawaan
Orang yang Mengemukakan Sikap/ Perilaku
Dalam hal ini adalah
mereka yang berotoritas dan berprestasi tinggi dalam masyarakat yaitu para
pemimpin baik formal maupun non formal. Dari kewibawaan mereka akan muncul
simpati, sugesti dan imitasi pada seseorang atau masyarakat. Oleh karena itu
dakwah atau penerangan agama yang disampaikan oleh orang-orang yang memiliki
otoritas dan prestise dalam bidangnya akan diterima masyarakat dengan cepat dan
penuh keyakinan.[26]
3.
Dampak Lingkungan Sosial Kemasyarakatan terhadap Perilaku
Keagamaan
Dalam
membahas dampaklingkungan sosial kemasyarakatan terhadap perilaku keagamaan
secara teoritis bertolak pada pembahasan hubungan individu dengan
lingkungannya. Menurut teori konvergensi disebutkan bahwa lingkungan memiliki peranan penting dalam
perkembangan jiwa manusia. Lingkungan tersebut terbagi dalam beberapa kategori
yaitu :
- Lingkungan
fisik ; berupa alam seperti keadaan alam atau keadaan tanah serta musim
- Lingkungan
sosial ; berupa lingkungan tempat individu berinteraksi.
Hubungan
individu dengan lingkungannya ternyata memiliki hubungan timbal balik
lingkungan mempengaruhi individu dan individu mempengaruhi lingkungan. Sikap
individu terhadap lingkungan dapat dibagi dalam 3 kategori yaitu :
a.
Individu menolak lingkungan
jika tidak sesuai dengan yang ada dalam diri individu
b.
Individu menerima
lingkungan jika sesuai dengan dengan yang ada dalam diri individu
c.
Individu bersikap netral
atau berstaus.
Lingkungan
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap pembentukan dan
perkembangan perilaku individu, baik lingkungan fisik maupun lingkungan
sosio-psikologis, termasuk didalamnya adalah belajar. Terhadap faktor
lingkungan ini ada pula yang menyebutnya sebagai empirik yang berarti
pengalaman, karena dengan lingkungan itu individu mulai mengalami dan mengecap
alam sekitarnya. Manusia tidak bisa melepaskan diri secara mutlak dari pengaruh
lingkungan itu, karena lingkungan itu senantiasa tersedia di sekitarnya.
Sejauh
mana pengaruh lingkungan itu bagi diri individu, dapat kita ikuti pada uraian
berikut :
Yang
dimaksud dengan lingkungan pada uraian ini hanya meliputi orang-orang atau
manusia-manusia lain yang dapat memberikan pengaruh dan dapat dipengaruhi, sehingga
kenyataannya akan menuntut suatu keharusan sebagai makhluk sosial yang dalam
keadaan bergaul satu dengan yang lainnya. Terputusnya hubungan manusia dengan
masyarakat manusia pada tahun-tahun permulaan perkembangannya, akan
mengakibatkan berubahnya tabiat manusia sebagai manusia. Berubahnya tabiat
manusia sebagai manusia dalam arti bahwa ia tidak akan mampu bergaul dan
bertingkah laku dengan sesamanya.
Dapat
kita bayangkan andaikata seorang anak manusia yang sejak lahirnya dipisahkan
dari pergaulan manusia sampai kira-kira berusia 10 tahun saja, walaupun
diberinya cukup makanan dan minuman, akan tetapi serentak dia dihadapkan kepada
pergaulan manusia, maka sudah dapat dipastikan bahwa dia tidak akan mampu
berbicara dengan bahasa yang biasa, canggung pemalu dan lain-lain. Sehingga
kalaupun dia kemudian dididik, maka penyesuaian dirinya itu akan berlangsung
sangat lambat sekali.
Lingkungan
memiliki peranan bagi individu, sebagai :
1) Alat
untuk kepentingan dan kelangsungan hidup individu dan menjadi alat pergaulan
sosial individu. Contoh : air dapat dipergunakan untuk minum atau menjamu teman
ketika berkunjung ke rumah.
2) Tantangan
bagi individu dan individu berusaha untuk dapat menundukkannya. Contoh :
air banjir pada musim hujan mendorong manusia untuk mencari cara-cara untuk
mengatasinya.
3) Sesuatu
yang diikuti individu. Lingkungan yang beraneka ragam senantiasa memberikan
rangsangan kepada individu untuk berpartisipasi dan mengikutinya serta berupaya
untuk meniru dan mengidentifikasinya, apabila dianggap sesuai dengan
dirinya. Contoh : seorang anak yang senantiasa bergaul dengan temannya
yang rajin belajar, sedikit banyaknya sifat rajin dari temannya akan diikutinya
sehingga lama kelamaan dia pun berubah menjadi anak yang rajin.
4) Obyek
penyesuaian diri bagi individu, baik secara alloplastis maupun autoplastis.
Penyesuaian diri alloplastis artinya individu itu berusaha untuk merubah
lingkungannya. Contoh : dalam keadaan cuaca panas individu memasang kipas angin
sehingga dikamarnya menjadi sejuk. Dalam hal ini, individu melakukan
manipulation yaitu mengadakan usaha untuk memalsukan lingkungan panas menjadi
sejuk sehingga sesuai dengan dirinya.
Sedangkan
penyesuaian diri autoplastis, penyesusian diri yang dilakukan individu agar
dirinya sesuai dengan lingkungannya. Contoh : seorang juru rawat di rumah
sakit, pada awalnya dia merasa mual karena bau obat-obatan, namun lama-kelamaan
dia menjadi terbiasa dan tidak menjadi gangguan lagi, karena dirinya telah
sesuai dengan lingkungannya
Jenis
Interaksi Sosial
Ada
empat jenis interaksi sosial dengan lingkungannya, yaitu :
1. Individu dapat bertentangan dengan
lingkungannya.
2. Individu dapat memanfaatkan lingkungannya.
3. Individu dapat berinteraksi dengan
lingkungannya.
4. Individu dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungannya.
Lingkungan
di sini bisa berupa lingkungan fisik (alam benda-benda yang konkrit),
lingkungan psikis (jiwa, badan, orang-orang dalam lingkungan) serta lingkungan
rohaniah (keyakinan-keyakinan, ide-ide, dan filsafat-filsafat yang terdapat di
lingkungan individu).[27]
Dalam konteks
pendidikan agama Islam lingkungan social kemasyarakatan dapat berfungsi sebagai media pendidikan pelengkap,
pengganti, tambahan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa banyak siswa SMP N
2 Gabus yang memiliki kejuaraan dalam lomba tilawatil quran dan juga banyak
yang mampu membawakan lagu-lagu khasidah dengan lafal bahasa arab yang sangat
fasih. Kemahiran dalam baca tulis al quran dan keterampilan memerankan seni
khasidah jelas bukan hasil pembelajaran guru di sekolah tetapi diperoleh dari
lingkungan social kemasyarakatan. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Muri
Yusuf (1996) dalam Jumali dkk yang
menyatakan bahwa lingkungan social kemasyarakatan dapat berfungsi sebagai lembaga
pendidikan pelengkap bagi pendidikan di sekolah.[28]
B.
TINJAUAN
PUSTAKA
Guna memperjelas kedudukan penelitian yang hendak
dilakukan ini, perlu kiranya dalam tinjauan pustaka dilakukan telaah terhadap
hasil-hasil penelitian terdahulu yang ada relevansinya dengan masalah yang
hendak diteliti. Adapun penelitian-penelitian terdahulu yang telah ditelaah
adalah sebagai berikut :
1. Penelitian
Rosidah (2010) tentang “Pengaruh Pemanfaatan Teknologi Informasi terhadap
Prestasi Pendidikan Agama Islam di SMP N 3 Pati”. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif dengan isu sentral yang sama dengan
penelitian yang hendak dilakukan yaitu prestasi pendidikan agama Islam (PAI).
Perbedaannya adalah pada variabel independennya dan pendekatan yang digunakan.
Penelitian yang dilakukan oleh Rosidah menggunakan pendekatan kuantitatif dan
mengambil variable independen teknologi informasi, sementara penelitian yang
hendak dilakukan ini menggunakan pendekatan kualitatif dan menjadikan
lingkungan social kemasyarakatan sebagai faktor yang diyakini berpengaruh
terhadap prestasi pendidikan agama siswa SMP N 2 Gabus. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa penelitian yang hendak dilakukan bukan merupakan pengulangan
terhadap penelitian yang telah diklakukan oleh peneliti terdahulu.
2. Sudarman (2010)
meneliti tentang “Pengaruh Kegiatan Ekstrakulikuler Keagamaan terhadap
Aktivitas Peribadatan Implikasinya pada Peningkatan Prestasi Pendidikan Agama Islam
di SMP N 1 Sukolilo”. Penelitian ini memiliki relevansi dengan
penelitian yang hendak dilakukan karena sama-sama membahas prestasi pendidikan
agama pada SMP, namun berbeda dalah hal pendekatan yang digunakan maupun
variable yang mempengaruhi. Penelitian Sudarman lebih melihat pada aktivitas
ekstrakulikuler keagamaan pengaruhnya terhadap aktivitas peribadatan dan
kemudian dipandang mempunyai implikasi terhadap prestasi belajar PAI pada siswa
SMP N 1 Sukolilo.
Penelitian
Sudarman dengan pendekatan kuantitatif
salah satu kesimpulannya menyatakan bahwa ada pengaruh positif dan signifikan
kegiatan ekstrakulikuler terhadap aktivitas ibadah siswa yang kemudian
berdampak positif terhadap peningkatan prestasi pendidikan agama. Perbedaannya
dengan penelitian yang hendak dilakukan terletak pada variable independen yang
dipandang mempengaruhi prestasi pendidikan agama siswa.
3. Mochammad Yayan
Diyana (2008) tentang “Pengaruh Metode
Ceramah terhadap Prestasi Belajar Pendidikan Agama Islam di Kelas VIII
SMP Islam Al-Asmaniyah Kelapa Dua Kabupaten Tangerang”. Tujuan
penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui adanya pengaruh metode ceramah
terhadap prestasi belajar siswa pada bidang studi pendidikan agama Islam.
Adapun penelitian ini bertitik tolak pada pemikiran bahwa
metode ceramah dapat meningkatkan prestasi belajar siswa jika seorang pendidik
dapat menggunakannya secara efektif dan efisien.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survei
dan menginventarisasikan teori-teori yang berkaitan dengan metode ceramah yang
diberikan kepada siswa menengah pertama dalam mencapai prestasi belajar.
Untuk mengetahui pengaruh metode ceramah terhadap prestasi
belajar pendidikan agama Islam di kelas VIII SMP Islam Al-Asmaniyah Kelapa Dua
Kabupaten Tangerang, menggunakan rumus product moment dari Karl Person, hasilnya
“r” hitung sebesar 0,14 hal ini menunjukan lemahnya hubungan antara metode
ceramah dengan prestasi PAI. Penelitian inijelas berbeda dengan penelitian yang
hendak dilakukan meskipun memiliki kesamaan pada isu sentralnya yaitu prestasi
pendidikan agama Islam.
Perbedaan penelitian pendahulu dengan penelitian yang
telah dilakukan terletak pada instrumental. Penelitian yang hendak dilakukan
mengambil isu sentral perilaku keagamaan yang diprediksikan dari lingkungan
sosial masyarakat. Sementara penelitian sebelumnya tidak membahas dan meneliti
isu sentral perilaku keagamaan. Perilaku keagamaan dipandang penting karena
pendidikan agama pada siswa hasil akhirnya adalah pembentukan perilaku
keagamaan.
Berdasarkan tinjauan pustaka yang dipaparkan diatas, maka
penelitian yang hendak dilakukan adalah penelitian yang belum pernah dilakukan
oleh peneliti-peneliti terdahulu. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa
penelitian tentang “Dampak Lingkungan Sosial Kemasyarakatan terhadap Prestasi
Pendidikan Agama Islam di SMP N 2 Gabus Kabupaten Pati” bukan pengulangan terhadap
penelitian terdahulu, melainkan penelitian baru dan asli.
C. Kerangka Berpikir
Pembentukan perilaku dapat terjadi
melalui tiga cara yaitu dengan cara kondisioning atau kebiasaan, pengertian
atau insight dan menggunakan model.[29] Pembelajaran
pendidikan agama akan menghasilkan perubahan perilaku karena pembelajaran agama
yang dilakukan secara terus menerus bias menjadi suatu bentuk pembiasaan.
Pembentukan perilaku keagamaan selain pembiasaan atau kondisioning juga dapat
dengan menanam pengertian keagamaan atau insight sementara seorang guru agama
bias menjadi model atau contoh tauladan yang baik sehingga hal ini juga bagian
dari pembentukan perilaku keagamaan.
Menurut Bimo Walgito pembentukan
perilaku manusia dapat ditempuh dengan kondisoning atau pembiasaan. Membiasakan
diri berperilaku seperti yang diharapkan akhirnya akan membentuk perilaku yang
diharapkan.[30] Jadi kalau
siswa dibiasakan berperilaku keagamaan seperti shalat berjamaah, bertutur kata
yang sopan berpenampilan bersih maka perilaku ini lama kelamaan akan terbentuk.
Hal yang perlu diingat bahwa untuk pembiasaan memang memerlukan waktu dan
kedisiplinan yang tinggi.
Siswa yang berada dilingkungan social
keagamaan kurang baik, kemudian mendapatkan kebiasaan berperilaku menyimpang
dari norma-norma agama maka lama kelamaan perilaku menyimpang tersebut akan
melekat pada diri siswa. Dengan demikian peran lingkungan masyarakat maupun
keluarga sangat besar dalam ikut membentuk perilaku siswa.
Faktor yang dapat mempengaruhi
terbentuknya perilaku selain pembiasaan adalah faktor insight. Insight adalah
salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku melalui penanaman
pengertian atau pemahaman. Pembelajaran agama islam merupakan proses penyerapan
pengetahuan keagamaan sehingga siswa memperoleh pengertian keagamaan. Hal ini
dapat membentuk perilaku sesuai dengan pengertian yang diterima dan di pahami
oleh siswa. Misalnya siswa datang terlambat lalu diberi pengertian lain kali
jangan sampai datang terlambat lagi karena hal tersebut dapat mengganggu
teman-teman lain yang sedang mengikuti jalannya pembelajaran.
Pembentukan perilaku selain dipengaruhi
faktor pembiasaan, insight juga dipengaruhi oleh faktor model. Faktor model
ialah faktor yang dilihat sebagai contoh sehingga orang lain berperilaku
seperti contoh yang dia lihat. Seorang siswa yang melihat contoh perilaku dan
membuat dia tertarik pada perilaku tersebut maka dia akan menirukannya.
Berdasarkan uraian diatas dapat
dinyatakan bahwa faktor faktor yang berpengaruh terbentuknya perilaku adalah faktor
kondisioning atau pembiasaan, insight atau pengertian dan model atau contoh.
Faktor lingkungan berdampak pada perilaku keagamaan siswa, karena faktor
lingkungan termasuk katagori model dan pembiasaan.
BAB III
|
A.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMP N 2 Gabus kabupaten Pati
bagian selatan. Lokasi penelitian termasuk wilayah kabupaten Pati yang berada
di luar kota, yakni kecamatan Gabus. Transportasi dari kota ke lokasi dapat
dijangkau baik dengan kendaraan umum maupun pribadi, sehingga memudahkan
peneliti untuk berada dilokasi penelitian.
B.
Jenis Data
Yang dimaksud data dalam penelitian ini adalah segala
keterangan yang berhubungan dengan fakta dalam cakupan fokus permasalahan yang
diteliti. Pengertian data memang ada kemiripan dengan pengertian informasi dan
fakta. Oleh karena itu perlu dijelaskan bahwa dalam penelitian ini istilah
informasi lebih ditonjolkan pada segi service, sedangkan data pada segi
materinya. Sementara istilah fakta yang dimaksud adalah sesuatu yang menjadi
milik obyek penelitian dan tidak dapat dipisahkan dengan obyek penelitian.[31]
Peneliti hanya membawa keterangan tentang fakta yang disebut data.
|
C.
Sumber Data
Penentuan sumber data sangat penting dalam melakukan
penelitian jenis apapun. Kesalahan dalam menentukan sumber data akan dapat
merusak hasil penelitian. Data yang telah dikumpulkan dengan susah payah tidak
ada artinya karena diperoleh dari sumber yang salah. Kemudian data yang
terkumpul dari sumber yang salah tersebut masih harus dianalisis dan
kesimpulannya tentu tidak bisa sesuai dengan yang diharapkan karena data yang
diperoleh adalah data yang dikumpulkan dari sumber yang salah, sehingga kerja
analisis data hanyalah buang-buang energi saja.
Data dalam penelitian ini bersumber dari mereka yang
dipandang peneliti banyak mengetahui tentang dampak lingkungan sosial
kemasyarakatan terhadap prestasi pendidikan agama Islam di SMP N 2 Gabus kabupaten Pati. Mereka
adalah informan yang meliputi :
1.
Kepala Sekolah
2.
Guru Bimbingan Konseling (BK)
3.
Wali kelas
4.
Waka Kesiswaan
5.
Siswa-siswi
6.
Orang Tua siswa
7.
Tokoh masyarakat dan agama
Sumber data lazimnya dalam penelitian kualitatif disebut
informan, dalam penelitian ini paling tidak ada 7 (tujuh) informan. Sungguhpun
demikian sesuai dengan karakteristik penelitian kualitatif yang bersifat
fleksibel karena naturalis atau alami, maka tidak menutup kemungkinan jumlah
informan akan bertambah.
Tabel 3.1
Informan Sebagai Sumber Data Penelitian
No.
|
Status Informan
|
Nama
|
1
|
Kepala sekolah
|
Ridwan M. Ag
|
2
|
Guru BK
|
Kastubi S.Pd
|
3
|
Wali Kelas
|
Nazilatus Suranti S. Pd
|
4
|
Waka Kesiswaan
|
Suhirman S. Pd
|
5
|
Tokoh Agama
|
Suparno S.Pd
|
6
|
Tokoh Masyarakat
|
Mubasyirin S. Pdi
|
7
|
Siswa
|
|
D.
Tehnik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1.
Metode Observasi
Yaitu melakukan pengamatan secara langsung ke objek
penelitian untuk melihat dari dekat kondisi lingkungan sosial kemasyarakatan
dan perilaku keagamaan sebagai permasalahan yang diteliti.[32] Peneliti
melakukan pengamatan langsung dari dekat terhadap objek yang diteliti dari awal
sampai akhir penelitian yaitu siswa sebagai subjek penelitian, dengan tujuan
agar peneliti dapat memperoleh data yang lengkap.
2.
Wawancara
Adalah suatu cara pengumpulan data yang digunakan untuk
memperoleh informasi langsung dari sumbernya.[33] Penggunaan
teknik wawancara dianggap baik untuk memperoleh data langsung dari responden,
sehingga mendapatkan data yang akurat, dan hal yang meragukan dapat dinyatakan
dan dibuktikan secara langsung.
3.
Dokumentasi
Dokumentasi berasal dari kata dokumen, yang artinya
barang-barang tertulis, metode ini lebih dimengerti dibandingkan dengan metode
pengumpulan data yang lain. Dalam menggunakan metode dokumentasi ini
dimaksudkan untuk memperoleh data latar belakan lingkungan social
kemasyarakatan siswa dan sekaligus daftar nilai PAI siswa SMP N 2 Gabus.
E.
Pengecekan Keabsahan
Data yang telah terkumpul dan dianalisis perlu dicek keabsahannya.
Pengecekan keabsahan data ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan data yang
harus valid dan reliabel.
Dalam penelitian ini pengecekan keabsahan data dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi
yang ada. Misalnya membandingkan hasil wawancara dengan hasil observasi,
membandingkan apa yang terjadi dalam situasi penelitian dengan apa yang terjadi
sepanjang waktu yang oleh Moeleong disebut trianggulasi.
Kecuali, trianggulasi, Moeleong juga menyebutkan perlunya keabsahan data melalui pengecekan
anggota dan diskusi sejawat. Melalui pengecekan anggota, berbagai kesimpulan
hasil analisis dikuatkan dan dimantapkan oleh pihak-pihak terkait, sehingga
terhindar dari berbagai komplain atas hasil kesimpulan penelitian. [34]
Demikian pula melalui diskusi sejawat, peneliti mendapat masukan dari
pandangan yang berbeda, pendapat dan kritik, sehingga kesimpulan penelitian
menjadi lebih sempurna.[35] Pengecekan keabsahan data dalam
bentuk diskusi sejawat maupun pengecekan anggota dalam pelaksanaannya dapat
berbentuk forum pertemuan atau secara pribadi-pribadi.
Seperti dijelaskan di atas bahwa penelitian kualitatif metodenya selalu kondisional. Apa yang
telah direncanakan oleh peneliti bisa berubah dalam praktek di lapangan.
Demikian pula untuk pelaksanaan pengecekan anggota maupun diskusi sejawat juga
bersifat kondisional. Dalam pelaksanaannya pengecekan anggota akan mengikuti
situasi dimana informan bersedia untuk meluangkan waktu guna klarifikasi data,
demikian pula untuk diskusi sejawat.
F.
Tehnik Analisis Data
Dalam melakukan analisis data, peneliti menggunakan model
interaktif dengan alur pikir sebagai berikut :[36]
Gambar 3.1 Analisis Data
Penjelasan gambar di atas adalah sebagai berikut:
1.
Pengumpulan data di lapangan dapat dikelompokkan dalam
bingkai reduksi untuk kemudian disajikan atau sebaliknya disajikan dulu baru
direduksi.
2.
Baik dari reduksi atau penyajian data terus dapat
disimpulkan dan diverifikasi dengan data yang terkumpul dari lapangan.
3.
Alur pikir model interaksi disajikan dalam analisis data
berupa narasi, matrik dan bagan konteks.
BAB IV
|
A. Hasil
Penelitian
1.
Kondisi Obyektif SMP Negeri 2 Gabus
Keberadaan SMP
Negeri 2 Gabus dijelaskan oleh salah seorang informan sebagai berikut :
“SMP Negeri 2 Gabus
Kabupaten Pati berdiri pada tahun 1993
dan mulai melakukan kegiatan pendidikan pada tahun pelajaran 1993/1994. Sekolah
tersebut berada di Desa Gempolsari Kecamatan Gabus Kabupaten Pati , Jalan Raya
Pati – Gabus Km. 5 Pati.”[37]
Kondisi obyektif SMPN 2 Gabus dari hasil observasi tentang
sarana prasarana dapat menunjukan bahwa :
“Keberadaan sarana dan prasarana dalam lembaga pendidikan merupakan
faktor yang mendukung kelancaran, efektivitas, efisiensi, dan keberhasilan
penyelenggaraan pendidikan. Tanpa sarana dan prasarana yang memadai mustahil
kiranya penyelenggaraan pendidikan akan berjalan sesuai dengan harapan. Untuk
itu ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan merupakan perangkat pendukung
penyelenggaraan pendidikan yang sangat penting, bahkan sangat vatal.”[38]
Melengkapi data sarana prasarana salah seorang informan
menjelaskan sebagai berikut:
|
Informan lain menambahkan penjelasan tentang kebutuhan buku
pelajaran untuk siswa sebagai berikut :
“Sampai dengan tahun pelajaran 2011/2012, setiap siswa belum memiliki buku pegangan berupa buku
pelajaran pendidikan agama. Kondisi ini
tentu menunjukkan bahwa siswa mengalami hambatan dalam memperoleh buku yang
relevan dengan tujuan pembentukan karakter sejak dini. Menyikapi kondisi seperti ini, SMP Negeri 2
Gabus bermaksud mengajukan permohonan bantuan pengadaan buku pelajaran
pendidikan agama agar tujuan sebagaimana tersebut di atas dapat tercapai.”[40]
Dari data diatas menunjukkan bahwa sarana prasarana sangat
penting dalam proses belajar mengajar tetapi untuk buku pegangan siswa sampai
dengan tahun pelajaran 2011/2012 belum ada. Kondisi ini tentu menjadi salah
satu faktor penghambat kelancaran proses belajar mengajar di SMP Negeri 2
Gabus. Sementara tujuan pendidikan yang harus dicapai tidak lepas dari sarana
berupa buku. Adapun tujuan pendidikan yang harus dicapai oleh SMP Negeri 2
Gabus sudah cukup jelas dan dipahami oleh semua guru termasuk karyawan. Tujuan
pendidikan tersebut dirumuskan sebagai berikut :
“Tujuan
pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri
dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.”[41]
Tujuan pendidikan ini agar dapat tercapai dengan cepat tentu harus ada
sarana yang memadai baik yang berupa bangunan fisik maupun sarana lainnya.
Sarana fisik yang telah dimiliki oleh SMP Negeri 2 Gabus dari hasil penelitian
dapat disajikan sebagai berikut :
SMP Negeri 2 Gabus menempati tanah seluas 11.220 m2 milik pemerintah
dengan luas bangunan 1.226 m2. Secara rinci bangunan tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut :
* Ruang Kepala Sekolah : 1 buah
* Ruang Guru : 1 buah
* Ruang TU : 1 buah
* Ruang Kelas : 15 buah
* Ruang Lab IPA : 1 buah
* Ruang Lab Komputer : 1 buah
* Ruang Perpustakaan :
1 buah
* Ruang BP : 1 buah
* Ruang UKS : 1 buah
* Ruang Ketrampilan : 1 buah
* WC siswa : 2 buah
* WC Guru : 1 buah
* Pos Satpam : 1 buah
* Musholla : 1 buah
* Koperasi Siswa : 1 buah
* Tempat Parkir Guru : 1 buah
* Tempat Parkir Siswa : 1 buah [42]
Keberadaan SMP Negeri 2 Gabus dengan sarana prasarana yang telah dimiliki
sebagaimana data yang telah dipaparkan diatas, telah menetapkan kondisi ideal yang dicita-citakan
untuk diwujudkan dirumuskan dalam bentuk visi misi sebagai berikut :
a.
Visi Sekolah
“Terwujudnya Generasi
Berprestasi, Terampil, Berkepribadian Luhur, Berakhlak Mulia, Dan Berbekal
Kecakapan Hidup”
b. Misi
Misi SMP Negeri 2 Gabus sebagaimana diuraikan di bawah ini.
1)
Mewujudkan prestasi lulusan dengan KKM rata-rata
Nilai Ujian Nasional dan Ujian Sekolah 7,50 dengan persentase kelulusan 100%
dan >90% dari lulusan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi
2)
Mewujudkan prestasi akademik dan nonakademik untuk
memperoleh kejuaraan tingkat kabupaten
3)
Mewujudkan Dokumen-1 KTSP
4)
Mewujudkan silabus semua mapel untuk semua jenjang/
tingkatan
5)
Mewujudkan RPP semua mapel untuk semua jenjang/
tingkatan
6)
Mewujudkan pengembangan pendukung perangkat
kurikulum.
7)
Mewujudkan pengimplementasian CTL dalam setiap
pembelajaran
8)
Mewujudkan penggunaan media yang berbasis teknologi
informasi
9)
Mewujudkan tenaga pendidik dan kependidikan yang
kompeten.
10) Mewujudkan prasarana dan
sarana pendidikan yang lengkap dan terpelihara.
11) Mewujudkan pengelolaan
administrasi sekolah berbasis teknologi informasi.
12) Mewujudkan pembiayaan
pendidikan yang akuntabel.
13) Mewujudkan penilaian hasil
belajar siswa berbasis teknologi informasi (komputerisasi).
Dalam rangka mewujudkan visi misinya, visi misi tersebut kemudian
dijabarkan dalam program kerja jangka panjang, menengah dan pendek sebagai berikut
:
a.
Jangka Panjang
“Tujuan jangka panjang SMP
Negeri 2 Gabus disusun dalam bentuk visi dan misi SMP Negeri 2 Gabus. Visi dan
misi tersebut mengacu kepada tujuan pendidikan nasional (Pasal 3 UURI No. 20
Tahun 2003) dan tanggung jawab sebagai salah satu jenjang pendidikan dasar
(Pasal 17 UURI No. 20 Tahun 2003). “
b. Jangka Menengah
Tujuan
sekolah jangka menengah SMP Negeri 2 Gabus direncanakan mulai tahun pelajaran
2009/ 2010 sampai dengan 2012/ 2013 dan pada akhir tahun pelajaran 2012/ 2013
dapat mencapai sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Sekolah mampu memenuhi/ menghasilkan prestasi
lulusan dengan KKM rata-rata Nilai Ujian Nasional dan Ujian Sekolah 7,50 dengan
persentase kelulusan 100% dan >90% dari lulusan melanjutkan ke
jenjang yang lebih tinggi
1)
Sekolah mampu memenuhi/ menghasilkan prestasi
akademik minimal 2 jenis bidang kejuaraan tingkat kabupaten
2)
Sekolah mampu memenuhi/ menghasilkan prestasi
nonakademik minimal 9 jenis bidang kejuaraan tingkat kabupaten
3)
Sekolah mampu memenuhi/ menghasilkan Dokumen-1 KTSP
4)
Sekolah mampu memenuhi/ menghasilkan silabus semua
mapel untuk semua jenjang/ tingkatan
5)
Sekolah mampu memenuhi/ menghasilkan RPP semua
mapel untuk semua jenjang/ tingkatan
6)
Sekolah mampu memenuhi/ menghasilkan pengembangan
bahan ajar
7)
Sekolah mampu memenuhi/ menghasilkan panduan
pembelajaran
8)
Sekolah mampu memenuhi/ menghasilkan panduan
evaluasi hasil belajar
9)
Sekolah mampu memenuhi/ menghasilkan persiapan
pembelajaran
10) Sekolah mampu memenuhi/
menghasilkan persyaratan pembelajaran,
11) Sekolah mampu memenuhi/
menghasilkan pengimplementasian CTL dalam pembelajaran
12) Sekolah mampu memenuhi/
menghasilkan penggunaan media yang berbasis teknologi informasi
13) Sekolah mampu memenuhi/
menghasilkan kepala sekolah sesuai standar nasional pendidikan
14) Sekolah mampu memenuhi/
menghasilkan guru sesuai standar nasional pendidikan
15) Sekolah mampu memenuhi/
menghasilkan tenaga pendukung/ karyawan sesuai standar nasional pendidikan
16) Sekolah mampu memenuhi/
menghasilkan laboratorium IPA Fisika dan IPA Biologi secara lengkap dan
terpelihara
17) Sekolah mampu memenuhi/
menghasilkan laboratorium bahasa yang lengkap dan terpelihara
18) Sekolah mampu memenuhi/ menghasilkan
laboratorium komputer/ multimedia standar dengan akses jaringan internet
memadai
19) Sekolah mampu memenuhi/
menghasilkan layanan perpustakaan standar dengan koleksi perpustakaan yang
lengkap
20) Sekolah mampu memenuhi/
menghasilkan ruang wakil kepala sekolah, ruang guru, ruang sekretariat Osis,
Pramuka, komite sekolah yang representatif
21) Sekolah mampu memenuhi/
menghasilkan lapangan sepakbola/ futsal
22) Sekolah mampu memenuhi/
menghasilkan lingkungan sekolah dengan tamanisasi yang optimal (25% dari lahan)
23) Sekolah mampu memenuhi/
menghasilkan sarana pendukung kegiatan paduan berupa sebuah organ (keyboard)
yang memadai
24) Sekolah mampu memenuhi/
menghasilkan pengembangan RKAS dengan pelibatan warga sekolah dan komite
sekolah
25) Sekolah mampu memenuhi/
menghasilkan monitoring evaluasi kinerja sekolah secara terjadwal dengan
dilengkapi tim internal
26) Sekolah mampu memenuhi/
menghasilkan pengelolaan administrasi sekolah berbasis teknologi informasi
(PAS/ SIM).
27) Sekolah mampu memenuhi/
menghasilkan penggalangan sumber dana minimal 5 sumber dana
28) Sekolah mampu memenuhi/
menghasilkan alokasi anggaran peningkatan kualitas pendidikan >20%
dari total anggaran
29) Sekolah mampu memenuhi/
menghasilkan pertanggungjawaban penggunaan anggaran dengan prinsip
akuntabilitas.
30) Sekolah mampu memenuhi/
menghasilkan pengolahan hasil belajar siswa berbasis teknologi informasi
(komputerisasi).
31) Sekolah mampu memenuhi/
menghasilkan tindak lanjut analisis hasil belajar siswa secara terprogram dan
terjadwal.
32)
Sekolah mampu memenuhi/ menghasilkan budaya mutu dan lingkungan sekolah
c.
Jangka Pendek
1)
Peningkatan kualitas lulusan mencapai rata-rata Nilai Ujian Nasional
7,40 dengan persentase kelulusan 100%.
2)
Persentase lulusan yang melanjutkan studi >90%.
3)
Prestasi akademis mencapai 2 jenis bidang kejuaraan
tingkat kabupaten (lomba siswa berprestasi atau olimpiade/ lomba mapel).
4)
Prestasi nonakademis mencapai 8 jenis bidang
kejuaraan tingkat kabupaten (olah raga, lingkungan kesehatan, kesenian,
keagamaan).
5)
Kesan umum kedisiplinan siswa dan kepedulian
lingkungan >100%.
6)
Kerja sama dengan pihak luar yang berkait dalam
pembinaan kepribadian dan akhlak mulia siswa lebih dari 4 kali setahun.
7)
Peningkatan budaya mutu sekolah in action
terlaksana dan terjadwal.
8)
Kepemilikan, pemahaman, penerapan dokumen kurikulum
100%.
9)
Kepemilikan, pemahaman, penerapan dokumen perangkat
kurikulum 100%.
10)
Kepemilikan,
pemahaman, penerapan dokumen pendukung perangkat kurikulum 100%.
11)
Kepemilikan, pemahaman, penerapan dokumen panduan
pembelajaran dan panduan evaluasi hasil belajar memenuhi SNP.
12)
Pemenuhan persiapan pembelajaran 100% dari SNP.
13)
Kualitas proses pembelajaran yang
mengimplementasikan CTL dan menggunakan media yang mendukung 100%.
14)
Pemenuhan pelaksanaan penilaian pembelajaran 100%
dari SNP.
15)
Tenaga pendidik dan kependidikan 95% yang mampu
memanfaatkan teknologi informasi.
16)
Ruang laboratorium IPA sesuai standar dengan
peralatan IPA lengkap dan terpelihara.
17)
Laboratorium komputer memenuhi standar dengan akses
jaringan internet memadai.
18)
Perpustakaan
dikelola tenaga khusus/ pustakawan dan koleksi perpustakaan memadai.
19)
Ruang guru representatif untuk menampung semua
guru.
20)
Lapangan basket, bola voli, sepak takraw, tenis
meja ada.
21)
Tamanisasi sekolah optimal untuk mendukung 6K.
22)
Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah tersusun dengan
melibatkan warga sekolah dan komite.
23)
Monitoring Evaluasi kinerja sekolah sudah
diprogramkan disertai monitoring evaluasi oleh tim internal.
24)
Pengelolaan administrasi sekolah memanfaatkan
teknologi informasi (PAS/ SIM).
25)
Pembiayaan bersumber dari APBN, APBD I, APBD II,
Bantuan Orang Tua, dan sumber dana yang memungkinkan.
26)
Alokasi anggaran untuk peningkatan kualitas
pendidikan mencapai >20%.
27)
Pertanggungjawaban penggunaan anggaran dilakukan
dan lengkap bukti fisik administrasi.
28)
Pengembangan income generating unit/ unit usaha
memadai.
29)
Dukungan fasilitas teknologi informasi maksimal
dalam pengolahan nilai atau hasil belajar siswa.
30)
Program tindak lanjut hasil belajar siswa
terlaksana dan terjadwal.
Tujuan yang ingin
diwujudkan oleh SMP Negeri 2 Gabus masih membutuhkan sumber daya manusia yang
memadai dalam hal ini para guru yang memiliki kompetensi sesuai dengan tuntutan
kebutuhan sekolah. Berikut data guru-guru yang ada di SMP Negeri 2 Gabus :
“Keadaan guru SMP Negeri 2 Gabus pada tahun pelajaran 2008/2009 berdasarkan
data yang penulis peroleh dari Tata Usaha
terdiri dari 36 guru, dimana dari 36 guru tersebut sebanyak 28 guru
berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) sedangkan sisanya sebanyak 8 orang masih
berstatus sebagai Guru Tidak Tetap (GTT). Mayoritas guru telah memenuhi standar
kualifikasi S1/ Akta IV yaitu 30 guru
(83 %), Diploma 3 / Akta III sebanyak 5 guru dan seorang guru berijazah PGSLP.”[45]
Keberadaan para
guru memiliki status yang berbeda-beda, ada yang PNS ada yang masih GTT, secara
rinci disajikan dalam tabel dibawah ini :
Tabel 4.1
Data Jumlah Guru
Berdasar Status Kepegawaian [46]
NO
|
STATUS
KEPEGAWAIAN
|
KUALIFIKASI AKADEMIK
|
JML
(orang)
|
||
SI / A. IV
|
D3 / A. III
|
PGSLP
|
|||
1.
2.
|
PNS
GTT
|
22
8
|
5
-
|
1
-
|
28
8
|
JUMLAH
|
30
|
5
|
1
|
36
|
.
Dari data tersebut
diatas jelas bahwa profesionalisme tenaga pendidik atau guru SMP Negeri 2 Gabus
sudah cukup memadahi karena 83 % telah memenuhi standar kualifikasi S1/A.IV dan
mengajar sesuai dengan bidang studinya sehingga sangat menunjang terhadap usaha
peningkatan efektifitas pembelajaran.
Selanjutnya untuk
mengetahui keadaan siswa SMP Negeri 2 Gabus dapat dilihat dalam Tabel sebagai berikut
:
Tabel 4.2
Data Siswa SMP
Negeri 2 Gabus, 2013 [47]
NO
|
KELAS
|
JENIS KELAMIN
|
JUMLAH
(orang)
|
|
L(orang)
|
P(orang)
|
|||
1
|
VII A
VII B
VII C
VII D
VII E
|
19
25
24
22
22
|
21
14
16
18
18
|
40
39
40
40
40
|
JUMLAH
|
112
|
87
|
199
|
|
2
|
VIII A
VIII B
VIII C
VIII D
VIII E
|
18
20
19
20
21
|
22
20
20
20
19
|
40
40
39
40
40
|
JUMLAH
|
98
|
101
|
199
|
|
3
|
IX A
IX B
IX C
IX D
IX E
|
14
20
20
24
21
|
26
20
18
14
16
|
40
40
38
38
37
|
JUMLAH
|
99
|
94
|
193
|
|
JML KESELURUHAN
|
309
|
282
|
591
|
Dari data tersebut
dapat diketahui bahwa jumlah siswa SMP Negeri 2 Gabus berjumlah 591 siswa yang
terbagi dalam tiga kelas yaitu Kelas VII sebanyak 199 siswa dibagi dalam lima
Rombel (rombongan belajar), Kelas VIII sebanyak 199 siswa terbagi dalam lima
rombel dan kelas IX sebanyak 193 juga terbagi dalam lima rombel. Jumlah siswa untuk
tiap rombongan belajar berkisar antara 37 sampai 40 siswa dengan ruang kelas berukuran 7 x 9 meter secara umum tidak melebihi kapasitas jumlah
rombel untuk tingkat SMP sehingga ditinjau dari lingkungan fisik sekolah
kususnya adalah ruang belajar, masih representatif dan
dapat mendukung tercapainya efektifitas pembelajaran.
Berkaitan dengan
kemampuan akademik peserta didik, rata–rata siswa memiliki kemampuan akademik
yang pas-pasan. Keadaan itu sangat berpengaruh terhadap perilaku keagamaan peserta
didik. Berikut tabel kelulusan siswa SMP Negeri 2 Gabus.
Tabel
4.3
Data
Kelulusan Siswa SMP Negeri 2 Gabus 2013 [48]
TAHUN
|
JML PESERTA
|
TDK LULUS
|
LULUS
|
% LULUS
|
||||||
L
|
P
|
JML
|
L
|
P
|
JML
|
L
|
P
|
JML
|
||
2008/2009
2009/2010
2010/2011
2011/2012
|
69
62
85
72
|
89
91
73
74
|
158
153
158
146
|
1
2
1
-
|
-
1
-
-
|
1
3
1
-
|
68
60
84
72
|
89
90
73
74
|
157
150
157
146
|
99,36
98,04
99,36
100
|
2.
Deskripsi
lingkungan sosial masyarakat di sekitar SMP Negeri 2 Gabus.
Kondisi lingkungan sosial masyarakat di sekitar SMP
Negeri 2 Gabus, dari hasil observasi menunjukkan bahwa :
“Disekitar lokasi sekolah kondisi masyarakatnya adalah
masyarakat yang tidak agamis. Tempat-tempat ibadah tidak ada disekitar sekolah.
Warga masyarakat sebagian besar tidak melakukan ibadah sesuai dengan syari’at
Islam. Kegiatan belajar agama seperti TPQ atau TPA tidak ditemukan disekitar
lokasi SMP Negeri 2 Gabus.”[49]
Melengkapi
data tentang kondisi lingkungan sekolah, diperoleh keterangan dari salah
seorang informan yang menjelaskan bahwa :
“Masyarakat sini kebanyakan kerja di perantauan, sehingga
tidak tinggal cukup lama di desa sini. Kadang-kadng mereka pulang ke kampung,
tetapi tidak lama kemudian kembali lagi ke perantauan. Jadi masalah tempat
ibadah tidak terpikirkan, yang dikejar oleh masyarakat sini adalah masalah
ekonomi. Apalagi lokasi ini juga sering kena banjir kalau musim hujan.
Masyarakat lebih mengutamakan membangun rumah yang bisa selamat dan terhindar
dari bahaya banjir, masalah tempat ibadah selama ini belum terpikirkan oleh
warga masyarakat.”[50]
Berdasarkan
data diatas dapat digambarkan bahwa kondisi lingkungan sosial kemasyarakatan
disekitar lokasi sekolah masih belum menunjukkan gejala yang positif dalam
menunjang terbentuknya perilaku keagamaan bagi siswa di SMP Negeri 2 Gabus.
Penyebaran tempat tinggal siswa SMP Negeri 2 Gabus juga sebagian ada yang
dilingkungan masjid besar gabus. Hal ini beradasarkan keterangan dari salah
seorangm siswa yang menyatakan sebagai berikut :
“Saya tinggal disekitar masjid besar kecamatan Gabus.
Karena rumah saya dekat masjid jadi kalau ada adzan saya berusaha untuk bisa
ikut sholat berjamaah di masjid. Kegiatan-kegiatan di masjid selain sholat
berjamaah juga ada kegiatan belajar membaca Al-qur’an. Kegiatan ini dilakukan
setiap habis magrib. Mesikipun saya tidak bisa mengikuti kegiatan belajar
Al-Qur’an di masjid secara rutin, tetapi kadang-kadang saya juga ikut. Sebabnya
saya kadang-kadang harus mengerjakan PR.”[51]
Data tentang lingkungan sosial kemasyarakatan yang
berkaitan dengan dekat jauhnya tempat tinggal siswa dengan tempat ibadah baik
musholla maupun masjid dari sembilan kelas yang terdiri dari kelas VII tiga
kelas, kelas VIII tiga kelas dan kelas IX tiga kelas diobservasi setiap kelas
kemudian dihitung berapa yang dekat dengan tempat ibadah dan berapa yang jauh
dari tempat ibadah. Siswa diminta untuk angkat tangan untuk yang dekat dengan
tempat ibadah lalu dihitung dan sisanya dianggap siswa yang tempat tinggalnya
jauh dari tempat ibadah. Dari hasil perhitungan diprosentase untuk dibandingkan
antara siswa yang dekat dengan tempat ibadah dan dengan yang jauh. Hasil
perhitungan menunjukkan sebagian besar siswa bertempat tinggal jauh dari tempat
ibadah. Tempat ibadah seperti mushola dan masjid memberi warna yang kental
keagamaan, sehingga berpengaruh kepada warga masyarakat yang ada dialamnya
termasuk siswa SMP Negeri 2 Gabus. Hal ini memang ideal karena dapat menunjang
keberhasilan pendidikan agama islam, namun dalam kenyataan justru banyak siswa
yang tempat tinggal mereka jauh, bahkan boleh dikatakan tidak ada tempat-tempat
ibadah seperti mushola dan masjid. Secara lebih rinci diperoleh data sebagai
berikut :
Tabel
4.4
Data
Tempat Tinggal Siswa dari Segi Jauh dan Dekat
dengan
Musholla atau Masjid [52]
NO
|
KELAS
|
DEKAT
|
JAUH
|
1
|
VII
|
10 %
|
90 %
|
2
|
VII
|
5 %
|
95 %
|
3
|
VII
|
20 %
|
80 %
|
4
|
VIII
|
17 %
|
83 %
|
5
|
VIII
|
22 %
|
78 %
|
6
|
VIII
|
12 %
|
88 %
|
7
|
IX
|
15 %
|
85 %
|
8
|
IX
|
25 %
|
75 %
|
9
|
IX
|
13 %
|
87 %
|
JUMLAH
|
139 %
|
761 %
|
|
RATA-RATA
|
15,4 %
|
84,6 %
|
Berdasarkan data diatas, dapat dideskripsikan bahwa lingkungan
sosial kemasyarakatan siswa SMP Negeri 2 Gabus sebagian besar jauh dari tempat
peribadatan. Tempat peribadatan baik Masjid maupun Musholla yang dekat dengan tempat
tinggal siswa hanya sebesar 15,4 %, karena sebagian besar siswa bertempat
tinggal jauh dari tempat ibadah, maka sebanyak 84,6 % siswa layak dipertanyakan
perilaku keagamaannya. Bagaimanapun juga tempat-tempat ibadah baik masjid
maupun musholla berpengaruh kepada perilaku keagamaan bagi masyarakat
sekitarnya.
3.
Deskripsi perilaku keagamaan siswa SMP Negeri 2 Gabus.
Perilaku ibadah siswa SMP
Negeri 2 Gabus dari hasil wawancara dengan salah seorang informan menyatakan
sebagai berikut :
“Sebagian besar siswa SMP
Negeri 2 Gabus belum melaksanakan sholat lima waktu. Hal ini dapat dilihat dari
perilaku sehari-hari disekolah ketika tiba waktu sholat dzuhur, maka hanya
sebagian kecil siswa yang melaksanakan ibadah shalat dzuhur. Padahal disekolah
sudah disediakan sarana ibadah berupa musholla, seharusnya siswa yang beragama
Islam memanfaatkan untuk ibadah bersama teman-teman, tetapi hal ini tidak
dilakukan. Jadi, siswa yang taat ibadah hanya sebagian kecil.”[53]
Dari observasi menunukkan
bahwa:
“Sebagian siswa jika bertemu dengan gurunya mereka mengucapkan salam,
jika mendapatkan berita yang menggembirakan mereka mengucapkan alhamdulillah.
Ketika ada berita lelayu keluarga dari teman mereka ada yang meninggal dunia
kebanyakan siswa beriur untuk bela sungkawa dan membaca istirjak”[54]
Melengkapi data diatas yang
menyatakan pendapatnya senada. Pendapat ini menggambarkan bahwa kondisi
perilaku keagamaan siswa terutama dalam hal sholat berjamaah di sekolah hanya
diikuti oleh sebagian kecil siswa SMPN 2 Gabus.
Salah seorang informan yang memberi pernyataan tentang hal ini ketika
diwawancarai, dari tokoh agama menyatakan bahwa :
“Perilaku keagamaan jika di
sekolah umum seperti di SMP Negeri 2 Gabus boleh dikatakan sangat kurang. Hal
ini karena di sekolahan tidak didominasi dengan pelajaran agama. Namanya saja
sekolah umum bukan madrasah, jadi sekidit sekali yang melakukan aktifitas
keagamaan dengan sungguh-sungguh. Di sekolah seperti SMPN 2 Gabus masih lumayan
memiliki mushola, dan mengadakan kegiatan sholat berjamaah, meskipun siswa yang
mengikuti hanya sebagian kecil.”[55]
Dari data diatas menunjukkan bahwa perilaku
keagamaan sebagian siswa sudah baik dan sebagian lainnya masih perlu mendapat
pembinaan.
4.
Dampak
lingkungan sosial masyarakat terhadap perilaku keagamaan siswa di SMP Negeri 2
Gabus.
Dari hasil wawancara dengan
salah seorang siswa yang mengikuti sholat berjamaah duhur diperoleh penjelasan
sebagai berikut.
“Saya dirumah sudah terbiasa
mengerjakan sholat berjamaah di masjid. Kebetulan rumah saya dekat dengan
masjid. Teman-teman saya kebanyakan mereka juga mengerjakan sholat berjamaah
dimasjid. Pada sore hari saya dan teman-teman belajar baca tulis Al Qur’an di
taman pendidikan Al Qu’an (TPQ) yang diselenggarakan di masjid juga.”[56]
Salah seorang informan dari
kalangan siswa menunjukan perilaku keagamaan yang dilakukan di sekolah.
Perilaku keagamaan ini berupa ucapan-ucapan yang diucapkan yaitu berupa bacaan hamdalah
ketika mengakhiri pelajaran dan mengucapkan istirjak ketika mendengar ada salah
seorang keluarga teman sekolah meninggal dunia. Pernyataannya adalah sebagai
berikut:
“Kami tinggal di suatu desa
tepatnya desa Mojolawaran. Di desa kami lingkungan masyarakatnya hampir
semuanya taat beragama. Sholat jamaah di masjid juga cukup banyak. Teman-teman
bermain sehari-hari mereka rajin mengaji di masjid, jadi saya juga ikut mereka
ke masjid. Dan kalau ada hari-hari besar Islam seperti Maulud Nabi, tahun baru
Hijriah ada lomba di masjid saya juga ikut kegiatan lomba tersebut.”[57]
Dari data ini dapat dinyatakan
bahwa lingkungan sosial kemasyarakatan yang kental dengan nuansa keagamaan
berdampak posotif terhadap perilaku keagamaan siswa SMP Negeri 2 Gabus.
5.
Faktor
– faktor yang mempengaruhi perilaku keagamaan siswa di SMP Negeri 2 Gabus.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku keagamaan pada
siswa SMP Negeri 2 Gabus dinyatakan oleh salah seorang informan sebagai
berikut:
“Saya mengerjakan sholat berjamaah itu sejak kelas enam
Sekolah Dasar Negeri 1 Gabus. Keluarga saya bapak dan ibu saya juga kakak-kakak
saya selalu mengerjakan sholat berjamaah di Masjid. Saya berusaha menegakkan
sholat karena saya tahu bahwa sholat adalah wajib hukumnya. Wajib itu apabila
tidak dilakukan akan mendapatkan siksa karena berdosa, tetapi kalau dikerjakan
dengan ikhlas, mengharap ridho Allah, akan mendapat pahala.”[58]
Pernyataan yang senada dikemukakan oleh salah seorang
informan yang secara keseluruhan sebagai berikut:
“Masalah perilaku keagamaan seperti sholat, puasa
ramadhan, mengucapkan tahmid, tasbih, takbir dan sebagainya itu memang
disebabkan oleh faktor dari dalam diri berupa kesadaran. Kesadaran beragama
menurut saya adalah petunjuk dari Allah SWT. Jadi siswa tidak bisa dipaksakan
untuk melaksanakan apa-apa yang disyariatkan agama. Misalnya berbusana muslimah
atau pakai jilbab kalau dipaksakan justru akan membentuk pribadi munafik.
Karena hati nuraninya sebenarnya menolak tapi karena terpaksa maka dia
mengenakan pakaian jilbab.”[59]
Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa perilaku
keagamaan bisa disebabkan oleh faktor eksternal berupa lingkungan sosial
kemasyarakatan seperti dikemukakan informan pertama, tetapi kemudian dilengkapi
oleh informan kedua yang menyatakan bahwa perilaku keagamaan bisa jadi
disebabkan karena faktor internal berupa kesadaran atas pengetahuan yang
dianggap benar.
B.
Pembahasan
1.
Narasi Dampak Lingkungan Sosial
Kemasyarakat Terhadap Perilaku Kegaamaan siswa
Siswa SMP Negeri 2 Gabus, berdasarkan data yang telah dipaparkan di atas
dapat dinyatakan bahwa lingkungan sosial kemasyarakatan siswa SMP Negeri 2
Gabus di sekitar lingkungan sekolah tidak menunjukkan nuansa keagamaan. Lokasi
sekolah jauh dari tempat-tempat peribadatan baik masjid maupun musholla.
Kondisi masyarakatnya dari segi perekonomian banyak yang merantau keluar
jawa. Mata pencaharian penduduk yang tinggal di sekitar mayoritas petani.
Kegiatan keagamaan tidak banyak dilakukan di sekitar lokasi sekolah.
Tempat tinggal siswa sebagian kecil berada di lingkungan yang kental
dengan keagamaan. Banyak tempat ibadah baik musholla maupun masjid dan di
sekitar itu pula ada sebaian kecil siswa SMP Negeri 2 Gabus yang tinggal dekat
tempat peribadatan.
Perilaku keagamaan siswa di SMP Negeri 2 Gabus setiap tiba waktu sholat
duhur diselenggarakan kegiatan sholat duhur berjamaah, kegiatan ini diikuti
oleh sebagian kecil dari jumlah siswa yang ada. Kegiatan keagamaan yang
bersifat ritual lainnya seperti puasa senin kamis belum ditemukan.
Perilaku keagamaan yang berupa ibadah sosial sudah cukup baik. Hal ini
ditunjukkan adanya kepedulian bela sungkawa kalau ada keluarga salah seorang guru
atau siswa yang meninggal dunia. Kepedulian sosial lainnya seperti saling
tolong-menolong, menengok temannya yang sedang sakit juga biasa dilakukan di
SMP Negeri 2 Gabus.
Lingkungan sosial kemasyarakatan yang kental dengan nuansa keagamaan
berpengaruh sangat positif terhaap perilaku keagamaan siswa. Namun hal ini
tidak bersifat mutlak karena perilaku keagamaan juga bisa disebabkan karena
adanya kesadaran yang mendalam. Kesadaran ini tumbuh karena pemahaman terhadap
pengetahuan agama yang diyakini sebagai kebenaran yang harus ditegakkan.
Berdasarkan narasi di atas perilaku keagamaan tidak bisa dipaksakan oleh
guru agama atau oleh orang tuanya dan bahkan oleh siapa saja. Perilaku
keagamaan harus muncul atas dasar kesadaran, yakni kesadaran yang timbul akibat
dari pengetahuan agama yang telah dimiliki. Pada sisi lain agama sebenarnya
adalah hidayah dari Allah SWT dan dalam ajaran Islam tidak ada paksaan dalam
melaksanakan agama. Bahkan seorang Rasul pun yaitu Rasulullah SAW tidak
berhasil mendorong pamannya Abu Thalib untuk melaksanakan ajaran Islam. Hal ini
adalah dasar cara berfikir bahwa perilaku keagamaan selain ditumbuhkan dari
pendidikan pada dasarnya juga merupakan dorongan dari dalam atas hidayah Allah
SWT.
2.
Matrik Dampak Lingkungan Sosial
kemasyarakatan Terhadap Perilaku Kegaamaan Siswa
Dari data di atas telah disajikan dalam bentuk narasi untuk lebih
mempermudah dalam memahami dan memaknainya dapat disajikan dalam bentuk matrik
sebagai berikut:
No.
|
Lingkungan
Sosial
|
Perilaku
Keagamaan
|
Dampak
|
Faktor-Faktor
|
1.
2.
3.
4.
|
Dekat
masjid 15,4 %
Jauh dari
Masjid 84,6%
Keluarga
taat beragama sebagian kecil
Keluarga
abangan sebagian besar
|
Jamaah
sholat sebagian kecil, amal sholeh sosial hampir semuanya
|
Lingkungan
keagamaan berdampak positif.
|
Faktor
lingkungan berpengaruh perilaku keagamaan
Faktor
kesadaran pemahaman agama berpengaruh perilaku keagamaan
|
Berdasarkan matrik di atas dapat dijelaskan bahwa pembentukan perilaku
bisa terjadi karena kebiasaan. Hal ini ditunjukkan oleh data di atas bahwa
salah seorang siswa keluarganya terbiasa sholat berjamaah di masjid dan
mengakibatkan ia menjadi tekun sholat berjamaah. Faktor pengetahuan yang
dipahami juga menjadi penyebab perilaku keagamaan. Hal ini ditunjukkan oleh
data diatas yang menunjukkan bahwa kesadaran dari dalam karena petunjuk atau
hidayah dari Allah menjadi sebab orang berperilaku keagamaan.
Dalam rangka membentuk perilaku keagamaan yang baik perlu diperhatikan
teori-teori bagaimana perilaku itu dapat dibentuk. Secara teoritis model atau
contoh keteladanan dari para guru akan dapat mendorong siswa untuk berperilaku
keagamaan. Apabila karyawan dan guru semuanya melakukan sholat duhur berjamaah
di sekolah, maka hal ini akan mendorong kepada semua siswa untuk ikut sholat
berjamaah.
Teori pembiasaan kalau semua siswa sudah dibiasakan melakukan sholat
duhur berjamaah, maka lama kelamaan perilaku keagamaan akan terbentuk akibat
kebiasaan. Oleh karena itu pembiasaan yang selalu dikontrol dengan ketat
mempunyai fingsi penting dalam mewujudkan perilaku tertentu yang diharapkan
terjadi. Seperti yang dipaparkan diatas yang kemudian dilakukan pembahasan
bahwa pembentukan perilaku dapat diwujudkan melAlui sebuah rekayasa dalam
bentuk peraturan tata tertib sekolah, sehingga siuswa menjadi terbiasa
berperilaku keagamaan.
C.
Temuan
1.
Belum Adanya
Model
Berdasarkan pembahasan di atas terhadap data-data yang telah disajikan diperoleh
temuan bahwa belum adanya model yang dijadikan tauladan bagi para siswa SMP
Negeri 2 Gabus dalam pembentukan perilaku keagamaan khususnya sholat berjamaah.
Model menjadi penting dalam membentuk perilaku yang diinginkan terjadi.
2.
Belum Adanya
Tata Tertib yang Mengikat
Dalam rangka mewujudkan perilaku keagamaan pada siswa SMPN 2 Gabus, perlu
memiliki tata tertib sekolah yang bersifat mengikat. Tata tertib yang ketat dan
mengikat untuk mewujudkan perilaku keagamaan di SMPN 2 Gabus belum ada. Hal ini
penting mkarena secara teoritis akan dapat membentuk perilaku yang di harapkan
melalui kebiasaan.
BAB V
|
A.
Kesimpulan
1.
Lingkungan sosial masyarakat di sekitar SMP Negeri 2
Gabus.
Kondisi lingkungan
sosial kemasyarakatan di sekitar SMP Negeri 2 Gabus jauh dari tempat-tempat
peribadatan, sementara masyarakatnya sebagian besar mata pencahariaannya
merantau keluar jawa. Sementara lingkungan sosial siswa sebagian kecil 15,4%
tinggal dekat tempat peribadatan, sedangkan sisanya 84,6% tinggal jauh dari
tempat peribadatan (musholla atau masjid).
2.
Perilaku keagamaan siswa SMP Negeri 2 Gabus.
Siswa sebagian
kecil terbiasa melakukan sholat jamaah di musholla sekolah, sementara sebagian
besar tidak ikut berjamaah. Sedangkan untuk ibadah-ibadah sosial seperti
kepedulian sosial berbela sungkawa semua siswa melakukannya dengan penuh
kesungguhan.
3.
Dampak lingkungan sosial masyarakat terhadap perilaku
keagamaan siswa di SMP Negeri 2 Gabus.
Lingkungan sosial
kemasyarakatan yang kental dengan keagamaan banyak tempat-tempat peribadatan
dan keluarganya taat beragama berdampak positif terhadap siswa dalam mewujudkan
perilaku keagamaan.
|
4.
faktor – faktor yang mempengaruhi perilaku keagamaan
siswa di SMP Negeri 2 Gabus.
Perilaku keagamaan siswa bisa
jadi dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Lingkungan yang kental dengan nuansa
agama berpengaruh positif terhadap perilaku keagamaan dan sebaliknya. Sementar
di sisi lain perilaku keagamaan juga bisa terjadi karena faktor kesadaran atas
pemahaman atas ajaran agama sebagai hidayah dari Allah SWT.
B.
Saran
3.
Untuk Kepala Seklah
Dalam rangka pembentukan prilaku keagamaan siswa SMP N 2
Gabus perlu diciptakan lingkungan sekolah yang kental dengan nuansa keagamaan.
Dengan lingkungan yang kental dengan kegamaan di sekolah, maka siswa akan
mendapat pengaruh positif dalam mewujudkan perilaku keagamaan.
4. Untuk
Guru Agama
Guru agama perlu mendorong para guru-guru dan karyawan
untuk bisa menjadi contoh teladan dalam pengamalan agama Islam di sekolah.
Contoh pengamalan agama disekolah akan dapat membentuk perilaku kegamaan siswa,
karena perilaku keagamaan secara teoritis salah satunya dapat terbentuk melalui
model atau contoh.
5. Untuk
Siswa
Siswa perlu bergaul dengan teman-teman sebaya yang taat
melaksanakan ajaran agama seperti rajin mengaji, sholat berjama’ah, bertutur
kata yang baik, selalu menepati janji dan perilaku-perilaku lainnya. Selain
bergaul dengan teman-teman yang taat beragama siswa juga berhati-hati dan kalau
perlu menjauhi lingkungan yang banyak melakukan kemaksiatan seperti perjudian,
mabuk-mabukan, tawuran dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
|
Arlina Nurbaiti Lubis. Februari 2008. Strategi
Pemasaran Dalam Kompetisi Bisnis. Internet. Hal. 4.
Arifin, 1991. Kapita Selekta Pendidikan.
Jakarta : Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi. 1996. Dasar-dasar Evaluasi
Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.
________________. 1988. Penilaiun Program
Pendidikan. Jakarta : Bina Aksara.
Arsyad, Azhar. 1997. Media Pengajaran.
Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Abudin Nata, Dirasah Islamiyah I (Al-Qur’an dan
Al-Hadits), (Jakarta: Raju Grafindo 1995).
A. Tabroni Rusyan, Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar,
(Bandung: Remadja Karya 1989).
Baruadib, Sutari Iman. 1987. Pengantar Ilmu
Pendidikan Sistematis. Yogyakarta : Andi Offset.
Daryanto. 1998. Administrusi Pendidikan.
Jakarta : Rineka Cipta.
Davis, Keith dan John. W. Newstrom. 1998. Perilaku
Dalam Organisasi, Terjemahan. Jakarta : Erlangga.
Eric H. Cohen. 2005. Research in Religion Education.
Jurnal Internasional.
Faisal, Sanapiah. 1981. Dasar dan Teknik Penelitian
Keilmuan Sosial. Surabaya : Usaha Nasional.
Fattah, Nanang. 2000. Landasan Manajemen Pendidikan.
Bandung : Remaja Rosdakarya.
Hadi, Sutrisno. 1990. Metodologi Research 3.
Yogyakarta : Andi Offset.
Hasan, Hamid. 2002. Konsep Pendidikan Berorienfust
Ketrampilan Hidup Dengan KBK. Semarang : UNNES.
Hasibuan, S.P. Mahayu. 2002. Manajemen SDAI.
Jakarta : Bumi Aksara.
|
Hidayat, Syarif. 2000. Refleksi Realitas Otonomi
Daerah Tantangan ke Depan. Jakarta : Pustaka Quantum.
H. Jamaludin, Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam,
(Bandung: CV Pustaka Setia 1999). Cet, ke-II
Hamzah Ahmad, Nanda Santoso, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Surabaya: Fajar Mulia 1996).
H. Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Kontemporer,
(Bandung: Alfabeta 2005). Cet, ke-II.
H. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam
Mulia 2004). Cet, ke-IV.
H. Syaiful Sagala, Konsep Dan Makna Pembelajaran, (Bandung:
CV. Alfabeta 2005).
Jalal, Fash dan Dedi Supriadi. 2000. Reformasi
Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Bandung : CV. Alfabeta.
Karlins, Marvin. 1993. Pendayagunaan Sumberdaya Manusia
Secara Manusiawi. Jakarta : Erlangga hal. 42.
Moekijat. 1991. Latihan dan Pengembungunv SDM.
Bandung : Mandar Maju.
_________,1995. Pengembangan Organisasi.
Bandung : Remaja Rosdakarya.
Moleong. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung : Remaja Rosdakarya.
Muhammad Zuhdi. 2005. The 1975 Three Minister Decree
and The Modernization of Indonesian Islamic Schools. Jurnal
Internasional.
Mu'izzuddin, Moch. 2001. (Tesis) Kemandirian
Madrasah Mathali’ul Falah. Semarang : Pasca Sarjana IAIN Walisongo.
M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung:
PT. Remaja Rosda Karya 1995).
Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Professional,
(Bandung: Remaja Rosda Karya 1990).
M. Athiyah, Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang 1993). Cet, ke-VII.
M. Ngalim Purwanto, MP. Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis,
(Bandung: PT. Remaja Rosda Karya 1989).
Muhibin Syah, Psykologi Pendidikan, (Bandung: IAIN
SGD)
MB. Rahimsyah, Satyo Adhie, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Aprindo 2005).
Martinis Yamin, Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi,
(Jakarta: Gaung Persada Press
2004).
Nataatmodjo, Soekidjo. 1998. Pengantar SDM.
Jakarta : Rineka Cipta.
Rahim, Husni. 2001. Arah Baru Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
Raka Jhoni, Pengukuran Dan Penilaian Pendidikan,
(Surabaya: Karya Anda 1986).
Rostiana NK. Masalah-masalah Ilmu Keguruan,
(Jakarta: Bina Aksara 1986).
Riduwan, M. B. A. Dasar-dasar Statistika,
(Bandung: Alfabeta 2003).
Sagala, Syaiful. 2004. Manajemen Berbasisis Sekolah
dan Masyarakat. Jakarta : PT. Nimas Multima.
Saridjo, Marwan. 1999. Bunga Rampai Pendidikan
Agama Islam. Jakarta : CV. Amisco.
Slamet PH. 2002. Makalah MBS Dalam Semiloka
Nasional. Semarang : UNNES.
Suleman Dangor. 2005. Islamization of Disciplines :
Towards an Indigenous Educational System. Jurnal Internasional.
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta 1997).
Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar,
(Jakarta: PT. Rineka Cipta 2002). Cet, ke-I.
Sukadi, Guru Powerfull, Guru Masa Depan,
(Bandung: Kolbu 2006).
UUS PN 2003.
Wasistiono, Sadu. 2002. Kapita Selekta
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Bandung : Alqaprint.
W. Gulo, Strategi
Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia 2002.
Yusron Razak dkk, Pendidikan Agama, (Jakarta:
Uhamka press, 2001).
Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bumi Aksara 2004).
Zuhairini dkk, Metodik Khusus Pendidikan Agama,
(Surabaya: Usaha Nasional 1981).
[3] http://eka-yunita-ekayunita.blogspot.com/2011/10/lingkungan-sosial-adalah-hubungan.html
[5] Ngalim Purwanto, Op. Cit. hal 28-29
[7] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1995, hlm. 755
[8] Ibid, hlm. 11
[9] S. Prodjaditoro, Pengantar Agama dalam Islam, Sumbangsih
Offset, Yogyakarta, 1981, hlm. 17
[11] Zakiyah Daradjat, Pendidikan dan Kesehatan Mental, Bulan
Bintang, Jakarta, 1976, hlm. 57
[12] Said Howa, Perilaku Islam, Studio Press, 1994, hlm. 7
[15] Abdul Azis Ahyadi, Psychologi Agama Kepribadian Muslim
Pancasila, Sinar Baru, Bandung, 1991, hlm. 68
[16] Ibid, hal.37
[17] Zakiyah Daradjat, Pendidikan dan Kesehatan Mental, Bulan
Bintang, Jakarta, 1976, hlm. 57
[18] Ibid, hal.21
[19] Ibid, hal. 23
[20] Ibid, hal.50
[21] Yusron Rozak, dkk. Pendidikan
Agama, Jakarta : Uhamka Press, 2001.hal.17
[22] Ibid, hal.25
[23] Ibid, hal.27
[24] Ibid, hal.29
[25] Darajat. Op.Cit. hal.49
[26] Ibid, hal. 16
[27] Ngalim Purwanto, Op. Cit. hal 30
[31] Burhan Bungin. 2001. Metode Penlitian Sosial. Surabaya :
Airlangga Press. hal.124.
[32] Riduwan, M. B. A, Op, Cit, hal. 57
[37] Wawamcara dengan kepala SMP Negeri 2 Gabus, 16 Maret 2013
[38] Observasi, 16 Maret 2013
[39] Wawancara dengan Kepala SMPN 2 Gabus, 16 Maret 2013
[55] Wawancara dengan tokoh agama, 17 Maret 2013
[58] Wawancara dengan siswa
kelas VIII yang sholat berjamaah duhur di SMP Negeri 2 Gabus, 17 Maret 2013
No comments:
Post a Comment